Thursday, August 30, 2012

Cerita yang Hidup di Hati


Ini adalah satu dari beberapa cerpen yang paling membekas pada diri Z mengenai Ramadhan dan hikmah di baliknya. Berulang kali Z baca, berulang kali Z akan rindu dan ingin membaca kembali. Lagi dan lagi. Kemudian Z berdoa semoga bisa memiliki hati yang lembut seperti "Istri Saya" di cerpen ini. Amiiinnn... Semoga begitu pun kamu... Selamat membaca! :D

Kenangan Ramadhan
Oleh: Hendry Ch Bangun
(Suara Karya, Sabtu, 22 Agustus 2009)

"Pa, jangan lupa nanti siang beli berasnya dua karung, yang 50 kilo. Terus, mie instan dua dus, dan sarden 25," kata ibu anak-anak saat saat saya hendak menutup pintu mobil, di pagi yang masih agak gelap itu. Saya mengangguk, menaikkan kaca mobil dan mulai berjalan. Lalu saya membayangkan akan membelinya di pasar pada saat istirahat kantor nanti siang, karena ada kios beras yang menjadi tempat saya biasa membeli dengan harga yang lebih baik dari tempat-tempat lain. Kalau mie instan, harga di pasar tidak jauh berbeda dengan di toko serba ada.

Saya memang biasa membeli beras di Ibu Titi, karena timbangannya paling pas. Bukan rahasia lagi, beras ukuran 50 kg biasanya berkurang 1-2 kg, yang ukuran 20 kg, pun demikian. Sehingga kita bisa salah hitung dalam merencanakan konsumsi di rumah. Bu Titi ini tergolong jujur, kalau dari agen besarnya kurang jumlahnya, dia akan katakan apa adanya.

Memberi bingkisan kepada orang-orang yang kami anggap kurang mampu merupakan tradisi yang sudah berjalan beberapa tahun. Aku lupa persisnya, mungkin 4-5 tahun terakhir. Awalnya kami hanya memberikan bungkusan lebaran kepada tukang ojek, tukang sampah, dan beberapa tetangga luar komplek yang berisi satu kaleng biskuit dan sirup. Maksudnya agar mereka bisa berhari raya dengan sedikit hidangan, paling tidak bagi keluarga sendiri.

Tetapi istri saya kemudian berinisiatif memberikan pula bingkisan yang berisi beras 5 liter, mie instan 4 bungkus, sarden satu buah, kadang ditambah gula dengan teh atau kopi. Tidak jelas berapa kali, tapi seingat saya-karena semua dia yang mengatur-dua kali dalam setahun. Kalau tidak salah itu terjadi ketika terjadi krisis moneter yang membuat kehidupan susah. Rupa-rupanya dia tidak tega melihat tukang ojek yang mulai kehilangan penumpang, yang kadang hanya dapat Rp 25.000 saja sehari sudah harus bekerja dari subuh sampai malam.

"Anggap saja ini zakat, membersihkan harta. Lagi pula kalau mereka lapar, tidak berkecukupan nanti pikirannya bisa macam-macam. Yang rugikan kan kita juga," kata istriku suatu saat.
Tentu saja tukang ojek gembira mendapatkan bahan pokok yang tidak disangka-sangka itu. Beras 4 liter paling tidak bisa menghidupi mereka 4 hari. Dan lauk sekadarnya sudah cukup untuk mendapatkan makan yang enak. Apalagi orang Indonesia sudah biasa makan nasi dengan lauk mie rebus.

Tukang-tukang ojek itu dekat dengan keluarga kami karena anak-anak yang bersekolah harus menggunakan jasa mereka. Ketika dulu masih ada angkot khusus yang membawa penumpang dari komplek ke kantor kecamatan, tidak ada masalah. Tetapi mobil plat hitam itu lalu dilarang akibat ada angkutan resmi dari jalan utama dekat komplek. Nah dari komplek ke jalan utama itu karena jaraknya sekitar 1 km dan perlu sekitar 6-7 menit berjalan kaki, muncullah ojek. Lama kelamaan mereka pun banyak disewa sekalian ke pasar. Untuk yang takut terlambat, ojek pilihan paling tepat. Begitu pula yang anaknya masih bersekolah di taman kanak-kanak dan sekolah dasar, lebih percaya berlangganan tukang ojek ketimbang naik angkot.

Si sulung dulu punya ojek langganan, begitu pula anak kedua dan ketiga. Dalam perjalanan waktu terjadi regenerasi di antara tukang ojek ini, tinggal satu-dua yang setia pada profesinya. Ada yang berhasil seperti Bang Satiri, dia menjadi warung sayur, yang karena ulet bahkan kini sudah punya mobil kijang. Dulu dia memulai dengan mencari pesanan, membelinya di pasar, lalu pagi hari mengantar ke warga di komplek. Istrinya keliling berdagang telur. Lama kelamaan mereka memiliki warung dan sukses. Tetapi jauh lebih banyak yang hidup pas-pasan. Kadang melihat wajahnya yang pucat saja, kita mengetahuil bagaimana sulitnya kehidupan mereka. Sungguh saya tidak tega melihatnya.

"Pa, bagaimana kalau rumput-rumput dan got itu dibersihkan Bang Mamat saja," kata istriku pada suatu saat, ketika kami sedang berbincang di depan teras, menyebut nama tukang ojek langganan anak kami. "Kenapa? Aku kan juga bisa mengerjakannya hari Minggu nanti," kataku.

"Biar dia dapat uang. Kasihan tuh, kayaknya dia lagi butuh," tambah istriku lagi.

"Ya sudah, nggak apa-apa. Panggil saja besok pagi."

Saya memahami jalan pikiran istri yang ingin memberi pancing dan bukan ikan. Dia ingin member tetapi agar tidak keenakan atau "tuman" maka orang itu harus diberikan pekerjaan. Maka di sekeliling komplek ada orang yang spesialis urusan listrik, ada tukang yang mengerjakan bangunan kecil-kecilan, yang mengecat, memotong rumput, dan sebagainya. Kami relatif dekat dengan orang-orang luar komplek ini, karena pembantu kami pun pada awal-awalnya dari kampong itu, namun rata-rata berhenti karena kawin muda atau ingin bekerja di pabrik.

***

Maka ketika istri saya berpulang Ramadhan tahun lalu, tukang-tukang ojek lah yang paling dulu datang ke rumah untuk menyampaikan duka cita. Tidak lama setelah dokter menyatakan istri saya meninggal dan kerabat memberitahu tetangga, mereka yang mangkal di ujung jalan menuju ke luar komplek, segera muncul di rumah. Mereka memang tahu istri saya sakit, apalagi ketika pulang ke rumah beberapa hari sebelumnya, dia dibawa dengan ambulans, yang tentu saja menarik perhatian.

"Ibu orang baik, Pak. Kami selama ini sudah banyak dibantu," kata seorang paling senior di antara mereka. Ada berbagai macam cerita yang mereka sampaikan, yang saya sendiri tidak tahu pernah dilakukan istri untuk kalangan bawah ini. Dengan sigap mereka pun membantu menawarkan diri untuk membantu mengatur rumah yang sebentar lagi akan ramai dikunjungi orang.

"Kami terus terang kehilangan Ibu. Kami mendoakan agar kebaikannya dibalas oleh Allah Swt," kata Bang Mamat yang kelihatan terpukul.

Selama ini aku terbiasa pergi pagi sekali dan pulang ketika sudah gelap pula. Pekerjaan saya menuntut saya harus hadir di kantor dari pagi sampai habis Maghrib, namun karena berbagai pertimbangan, antara lain kemacetan yang luar biasa maka biasanya saya mengundur waktu kepulangan. Saya suka tidak tahan harus "sikut-sikutan" di jalan raya yang bisa memancing emosi.

Keadaan ini membuat saya sering tidak tahu keadaan di rumah, termasuk yang dilakukan istri dan anak-anak. Kadang kalau sore sudah berkumpul, mereka pergi sekadar jalan-jalan ke pertokoan yang dapat ditempuh sekitar 15 menit. Kalaupun tahu biasanya hanya dari cerita mereka saja. Termasuk perkembangan keadaan di komplek. Misalnya Pak anu akan mantu, ibu anu masuk rumah sakit karena penyakit anu, dsb. Tetapi untuk yang dilakukannya, istriku jarang bercerita.

Hanya ada satu tanda-tanda bila dia melakukan sesuatu, yaitu minta tambahan uang atau minta dibelikan sesuatu yang sebenarnya anggarannya sudah direncanakan dan uangnya ada padanya. Misalnya saja, mengajak makan di restoran cepat saji Jepang yang disukainya. Kalau minta traktir artinya uang yang dia cadangkan pasti dipakai untuk keperluan lain. Baru setelah didesak dia akan mengaku.

"Iya, ngaku deh aku. Uangnya aku kasih Bu Anu untuk bayar uang sekolah anaknya," katanya suatu saat menyebut nama tetangga sebelah yang belum lama menjadi janda.

"Iya betul, uangnya aku pinjamin sama orang. Dia janji mau mulangin minggu ini ternyata dia bilang belum punya uang," katanya di saat yang lain. Entah berapa banyak orang yang dipinjami aku tidak tahu. Tapi semuanya menjadi jelas ketika soal piutang-piutang ini sempat dilontarkan pembantu kami saat jasad istri sudah terbaring kaku di ruang tamu. Dia menyebut beberapa nama, dengan jumlah uang yang kalau dijumlah bisa membeli beras puluhan karung.

"Sudah, kita relakan saja. Kalau mereka merasa mau bayar, kita terima. Kalau tidak biarkan saja," kata saya. Bagi saya, uang yang dipinjamkan itu tokh akan menambah pahala bagi istri, dikembalikan ataupun tidak.

Kenangan ini yang membuat Ramadhan kali ini terasa lain. Meskipun istri tercinta sudah pergi, dia masih meninggalkan bekas yang begitu dalam. Sepeninggalnya, tradisi member bingkisan bagi mereka yang membutuhkan terus kami jalankan.

Mudah-mudahan idenya yang terus dilaksanakan itu membuat almarhumah tidak berhenti mendapatkan rahmat dari Sang Pencipta.

"Pak, bingkisannya kapan dibagikan. Nanti atau besok," kata pembantu kami tadi pagi.

"Ya nanti dong. Justru maksudnya biar mereka memiliki beras di awal bulan puasa," kataku.

Sambil menghidupkan mobil, aku tersenyum, membayangkan senyum istri di atas sana.

***

@ Palmerah Barat, Agustus 2009