Friday, December 30, 2011

Edisi Renungan


"Pada akhirnya, di ujung pencarian, kita harus memilih satu tempat untuk mengabdi."

(AidaRadar, 301211)


Friday, December 23, 2011

L P J...

(Semoga kekompakkan dan persaudaraan kami tidak berakhir di Musykom...)


BIDANG IPTEK PIKOM IMM FKIP

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR


A. MUQADDIMAH

Membumi dan Melangitkan puji dan puja hanya patut disematkan ke singgasana agung Allah SWT, Penguasa seluruh alam raya yang nampak dan segala yang tak terjangkau nalar. Atas kebesaran, kasih sayang dan cinta yang tidak pernah meluntur saban waktu memutar kendalinya, sehingga jantung yang mendiami bagian dalam tubuh kita tidak henti-hentinya berdetak dan udara yang melingkupi bumi tiada terlambat barang sedetik keluar masuk di saluran pernapasan. Salam dan shalawat senantiasa diucapkan pada Rasulullah Muhammad SAW, manusia terbaik yang pernah dilahirkan dari rahim seorang Ibu. Untuk “Ummati... Ummati...” di ujung napas dan Dinul Islam yang masih tegak hingga manusia bisa memandangi matahari yang indah pagi ini.

Seperti yang telah terpatri dalam isi benak hadirin sekalian, MUSYKOM sejatinya adalah pengambilan keputusan tertinggi dalam organisasi di tingkat komisariat. Dengan pemahaman itu, segala harap dan mimpi selalu digantungkan di dinding-dinding hati anggota komisariat sehingga tujuan yang sedianya hendak dicapai organisasi dapat dilaksanakan dengan baik, paripurna dan tak melenceng dari rel utama. Sehingga, ketika menatap embun di rerumputan bakda Subuh mengakhiri ritual penghambaan esok hari, yang terlihat hanya senyum yang terkulum dari bibir dan pipi bidadari surga.

Memaknai hari yang berlarian mengganti purnama yang juga telah duabelas kali menggilirkan keberadaannya, kami mahfum jika program keummatan di bidang Iptek yang dirancang dalam rapat kerja pimpinan belumlah terlaksana secara utuh. Ada banyak bolong, koyak, rusak, tambalan yang mewarnai kain-kain putih suci yang kami tenun di agenda bidang selama amanah ini dititipkan di pundak. Dan niat dan rencana yang telah rapi tersimpan dalam buku agenda bidang itu ternyata tidak akan bisa menafikan takdir yang langsung terhujam dari langit. Akhirnya kami harus kembali mengakui, letak kemampuan manusia hanya ada di setiap jengkal kuku saja, Allah-lah Sang Penentu segala.

B. IKHTISAR KEPUTUSAN RAPAT KERJA

(Sensor)

C. PELAKSANAAN KEPUTUSAN RAPAT KERJA

(Rhs)

D. KONDISI PIMPINAN

(Rahasia Perusahaan)

E. KHATIMAH

“Allah menguji keikhlasan dalam kesendirian. Allah memberi kedewasaan ketika masalah berdatangan. Allah melatih ketegaran dalam kesakitan. Tetap Istiqamah! Sertakan Allah di setiap langkah. Hati yang siap memikul amanah adalah hati yang kuat, teguh dan tulus. Tak berharap apapun, tapi sanggup memberi dengan segenap apapun, sebab hanya dari Allah segala balasan diharapkan. Jangan minta dikurangi bebanmu, tapi mintalah agar punggungmu dikuatkan membawanya.”

(Seseorang yang tak bernama)

Demikian laporan ini kami buat dan hadapkan di forum berwibawa ini. Tak dinyana, di tiap aktivitas pengimplemetasian program dan kata yang tertoreh tentu menyimpan kerut di jidat anda sekalian. Olehnya itu, segala bentuk maaf kami haturkan pada anda dan semoga ianya menjadi pelajaran bagi kami dan kami-kami baru lain yang akan mengapteni IMM di hari yang telah menunggu di depan sana.

Billahi Fii Sabilil Haq, Fastabiqul Khairat

Wassalamu’alaikum Wr.Wb.

***

"SEBUAH PUISI PENUTUP"


REMEMBER WHEN

perjumpaan itu adalah awan gelap yang membongkar muatannya

di november yang licin

lalu kita basah oleh percakapan yang ruah di malam-malam yang gelisah

datanglah, katamu. biarlah Tuhan yang

meluruhkan rindu, balasku sok bilak. kita tertawa,getir, satir, hingga

desember pun singgah malam ini, hujan.

hati ini, terajam. sesak ini, bungkam. perjumpaan itu. ini. itu. ini.

kapan? kapan lagi, kapan lagi,

hujan tak datang seperti jarum-jarum yang membuyarkan

awan-awan


(Benny Arnas, Lubuklinggau 2011)


Saturday, December 17, 2011

HUAAAAAHHH... CERPEN JADUL (HASIL BUKA-BUKA ARSIP)


ERTI YANG TERBAKAR SEMBILU

Oleh : Aida Radar


Seharian itu Erti senyam senyum saja. Air mukanya tanpa henti mengalirkan tawa kecil-kecilan di terik siang yang mengumpul cukup banyak bara panas. Membuat beberapa pembeli yang keluar masuk warung kelontong yang dijagainya mengerut-ngerutkan kening. Keheranan. Walau begitu ada beberapa pula yang kena sedikit bahagianya —meskipun mereka tak tahu musabab apa Erti terus tersenyum. Setelah membeli, mereka mengubah sabit bibir lalu memandang Erti dan geleng-geleng kepala keluar warung.

Sembari duduk di belakang meja kayu, yang di atasnya teronggok sebuah buku tulis berisi daftar barang yang terjual dan kalkulator kecil seukuran tangan balita, ia baca kembali isi sms di hp keluaran lamanya. Isi sms yang ternyata merupakan pemicu senyumnya tumbuh dan berkembang hingga memekar hari itu.

Erti, Yana so1 daftarkan Eti di kampus terbaik di Kota Daeng ini. Satu minggu lagi, tes masuknya. Erti bilang Ma’, segera siapkan semua keperluan Eti berangkat ke sini. Nanti Yana akan jemput Erti di pelabuhan Makassar.

Demikian isi sms dari Yana, sahabatnya yang berkuliah di Makassar. Yana adalah teman seangkatannya di SMA setahun lalu. Mereka bersahabat sejak masa orientasi siswa baru hingga kini. Bakda pengumuman kelulusan dan pengambilan ijazah, Yana langung bertolak dari Tidore ke Makassar. Melanjutkan studi di negeri Anging Mamiri. Sementara Eti, tetap memaku di Tidore.

Sebenarnya Erti juga berniat merajut mata rantai tempat menuntut ilmu berikutnya —setelah tamat SMA, di Makassar pula. Dan begitu memang janjinya dan Yana ketika duduk di bangku kelas dua dulu. Namun, apalah dikata. Sejarah klasik penuntut ilmu yang berlatar ekonomi di bawah baik-baik saja, rupanya memilihnya sebagai bagian cerita orang-orang miskin rupiah di masa lalu, kini dan nanti itu. Apalagi semenjak abahnya koliho asal2, dua tahun silam, tulang punggung keluarga beralih posisi dipegang Mak-nya. Dan ia sebagai anak sulung yang masih memiliki dua saudara tiga dan empat tahun di bawahnya, dengan terpaksa —dan berurai airmata, melepas Yana mengarungi laut menuju Makassar di pagi dingin yang masih mendengkur dan menguras habis tangisnya di pelabuhan Ternate.

Maka setelah satu tahun Erti memendam hasrat menjadi mahasiswa, kini, di tahun ini, Mak mengiyakan proposal berkuliah di Makassar yang disodorkannya pada suatu malam satu bulan lalu.

“Erti so banyak bantu Ma’ jaga warung itu. Walau Erti tidak minta pun, tahun ini Ma’ tetap akan kirim Erti ke Makassar. Ma’ tahu Erti ingin sekali kuliah di Makassar. Alhamdulillah, tabungan Ma’ satu tahun ini sudah cukup untuk berangkatkan Erti ke Makassar dan biaya hidup beberapa bulan berikutnya.”

Kaca-kaca bening di mata Erti langsung pecah demi mendengar kata-kata Mak-nya itu. Lalu dipeluknya wanita setengah abad itu sambil tak berhenti berujar,

Sukur dofu3 Ma’, terima kasih Ma’. Erti janji akan serius kuliah. Erti akan jadi sarjana tepat waktu. Sukur dofu Ma’.”

Sang ibu pun tak kuasa menampung airmatanya yang telah mengapung di kelopak sedari tadi. Dipeluknya erat buah hati pertamanya itu. Ada kelegaan besar yang memancar dari wajah wanita itu. Anaknya sebentar lagi akan kuliah. Menjadi seorang mahasiswa. Di Makassar pula. Ah... leganya hati orang tua yang telah berhasil memenuhi keinginan anaknya.

Malam itu Erti dan Mak-nya bercerita banyak. Mereka menyusun bermacam rencana-. Kapan berangkat, apa yang harusnya dipersiapkan, siapa yang dikabari dan semuanya. Mata mereka terus menyala, pun mulut mereka tak hentinya berceloteh, meski jam dinding telah memekik dua belas kali di ruang tamu dan burung hantu tak hentinya ber-uhu-uhu ria di tenggeran pohon mangga di luar sana. Mereka seakan tak peduli. Malam ini adalah malam mereka, malam seorang janda yang anaknya akan berkuliah di rantau dan malam seorang anak yang sebentar lagi memakai jubah almamater impiannya.

***

Mak baru saja pulang dari Ternate membeli tiket kapal Lambelu yang akan Erti tumpangi ke Makassar esok hari. Tiket kelas ekonomi itu berlindung di balik amplop putih bercap Pelni yang akan jadi bukti legal Erti berdesak-desakan di dalam badan kapal.

“Langsung simpan tiket itu dalam kopor pakaianmu Erti. Jang taru4 di sembarang tempat. Nanti hilang. Kalau tiket itu hilang, terpaksa kau tidak bisa berangkat. Tadi Ma’ antri lama sekali untuk dapatkan tiket itu. Tapi Ma’ masih beruntung masih dapat. Banyak yang tidak dapat tiket. Musim tahun ajaran baru seperti ini tiket habis sangat cepat.”

Erti menurut. Tiket di tangannya sesegera disimpan di kopor pakaiannya pada bagian kantong. Semua barang yang hendak dibawa, telah dipersiapkan. Kopor pakaian, satu kardus mi instan yang di dalamnya berisi kue-kue kering buatan Mak dan pemberian tetangga, serta sekotak kue basah untuk Yana. Kesemuanya sudah siap menanti dibawa Erti ke Makassar.

“Erti, barang-barangnya disimpan di warung saja malam ini ya? Dari rumah cukup bawa tas tangan kecil. Supaya besok kita tidak susah bembeng5 barang berat itu. Tinggal panggil Oto6 dari terminal ambil di warung. Lebih dekat. Kebetulan juga ada kiriman Daeng7 Tanga dan Umi untuk keluarganya di Gowa, jadi lebih bagusnya disimpan di warung saja ya?”

“Iya Ma’. Begitu lebih bagus. Tidak ribet.”

Daeng Tanga dan Umi, pedagang asal negeri yang akan Erti tuju, pemilik ruko di depan warung yang sudah layaknya keluarga sendiri hendak mengirim sesuatu untuk keluarga mereka di Gowa. Jadi untuk mempermudah akses dari terminal, sore itu semua barang bawaan Erti dipindahkan dari rumahnya ke warung.

***

Dar...! Dar...! Dar...!

Erti terlonjak kaget dari tempat tidurnya. Mak yang tidur di sebelahnya segera ia bangunkan.

“Ma’! Ma’ bangun! Ada yang menggedor-gedor pintu.”

“Hah!? Siapa yang bertamu di tengah malam ini?”

“Erti! Sumi! Bangun! Erti! Sumi! Bangun! Pasar Sarimalaha terbakar. Pasar terbakar! Cepat bangun!” Seseorang berteriak panik di luar.

Erti dan Mak sontak berpandangan mendengar teriakan itu. Muka kantuk mereka langsung memasi. Tanpa pikir panjang, dalam kalut yang sangat, mereka menghambur menuju pintu. Bi Ijah, tetangga mereka berdiri tegang begitu pintu terbuka. Wajahnya juga pucat.

“Sumi, pasar terbakar. Pasar hangus. Warung kita terbakar semua. Tidak ada yang tersisa, huhuhu.” Bi Ijah itu langsung menangis.

“Apa!?”

Mata Mak terbelalak. Mata Erti pun tak kalah menyala tajam. Seliuk kesimpulan serta-merta mengitari kepalanya.

Pasar terbakar. Berarti warung terbakar. Berarti barang-barang yang akan kubawa ke Makassar juga terbakar. Dan... Dan tiket kapal besok tentu pula hangus terbakar. Ya Allah... Apa itu artinya hamba tak bisa ke Makassar besok?

***

Erti ternganga memandangi apa yang ada di hadapannya. Isi pasar beserta warung kelontong Mak melapuk. Gosong merongsok bakda dijilati tanpa ampun oleh si jago yang tak lagi merah. Satu unit mobil pemadam kebakaran yang diturunkan ternyata tiada banyak memberi sumbangsih. Api tak berhasil dibuat berhenti menjalari sudut pasar yang sebelumnya belum terjamah.

Banyak orang berlarian tak karuan. Ada yang masih sempat menyelamatkan setengah dagangan mereka. Namun ada yang hanya pasrah pandangi tulang punggung ekonomi keluarga porak-poranda. Teriakan-teriakan menyayat memenuhi langit malam itu. Bercampur aduk dengan asap pekat dan sisa pembakaran yang berarak dan beterbangan. Umi datang dan langsung memeluknya dan Mak sambil menangis.

Ai... Erti... Anakku sayang. Terbakar semuami warung nak. Sumi... habismi isi tokoku kodong, Astagfirullah.”

Erti tak bergerak dari tempatnya. Dilihatnya Mak dan Umi masih berpelukan dalam sedu-sedan yang makin keras. Kemudian ia berpaling kembali memandangi warung.

Ada barang-barangku di dalam sana. Ada tiket kapalku ke Makassar di dalam sana. Ada masa depanku di dalam sana. Ada impianmu di dalam sana. Semuanya... Terbakar!

Sekonyong-konyok dirasai badannya ringan. Tangan dan kakinya seperti melumpuh. Teriakan dan tangis didengarnya mulai samar. Bola matanya kaku. Pandangannya berkunang-kunang lalu gelap. Dan ia pun jatuh terjerembab di tanah yang dirembesi gosong segosong hatinya.

***

Catatan :

1. So : Sudah

2. Koliho Asal : Ungkapan orang-orang Tidore ketika mengabarkan seseorang meninggal dunia. Koliho asal artinya kembali ke asal manusia yaitu pada Allah SWT.

3. Sukur dofu : Terima Kasih

4. Jang taru : Jangan Diletakkan

5. Bembeng : Jinjing

6. Oto : Mobil

7. Daeng : Sapaan bagi lelaki di Makassar.

Makassar, 3 April 2010

Pukul 23.52 WITA

Ide terbesit bakda terbakarnya pasar terbesar di Tidore 28 Maret lalu.