Wednesday, January 19, 2011

CERPEN LAMPUNG POST


MATA PENCERITA
Cerpen Aida Radar
(Dimuat di Lampung Post, Ahad, 12 Desember 2010)


TAK ada yang tahu siapa laki-laki tua itu. Dari mana dia berasal dan mengapa dia bisa berada di kampung ini. Orang-orang dewasa di kampung menyebutnya si tua misterius. Sementara anak-anak meneriakinya "O...rang gila...!" Maka, tiada bayangan jejaknya yang bisa kutelusuri. Hanya satu informasi bahwa ia terlihat di kampung sehari sebelum aku mudik dari tempat studi di Kota Daeng*.

Awal kulihat dia keesokan hari setelah tiba di Goto—nama kampungku di Pulau Tidore. Ketika menyusuri jalan setapak diterangi lampu 5 watt yang bersebelahan dengan perkuburan tua; di tengah sayup-sayup lolongan anjing kampung yang memilu, pukul empat subuh; dan di antara semilir angin malam yang menggoyang-goyang daun pala di atas makam-makam itu; kudapati sosoknya.

Sempat aku terhenyak. Kukira dia salah satu makhluk makam tua itu. Bagaimana tidak. Di waktu seperti itu, di pagi yang masih mendengkur, dipastikan belum ada orang kampung yang berseliweran. Semua masih meringkuk di balik selimut hangatnya. Menikmati malam untuk merehatkan tubuh yang sibuk membanting tulang siang tadi.

Dia duduk sendirian di bawah rimbun pohon pala itu. Entah apa yang sedang dia lakukan di sana. Mataku tak bisa menangkap aktivitasnya karena gelap yang menyelimuti. Lagi pula aku tidak bisa berlama di sana. Waktu yang memasuki subuh mendesakku segera mengumandangkan panggilan menghadap Ilahi bagi hamba-Nya. Maka kutinggalkan sosok itu berteman dengan sepi yang memang telah melingkar sedari tadi.

Hingga cakrawala mulai dilumuri kemilau emas di ufuk timur sekembalinya dari peraduan, menjemput pagi dengan perpaduan kesejukan embun di rerumputan, masih setia sosok tua menyendiri di bawah pohon pala itu. Lelaki yang kini dapat kutatapi wajahnya walau tak dari jarak terdekat.

Sebelumnya kukira ia berkepala lima. Tak seperti perkiraan orang sekampung bahwa ia telah menginjak tujuh puluh lebih. Pikirku berewok dan gondrongnyalah yang membuatnya kelihatan tua. Tapi memang begitulah adanya. Wajahnya berkata ia sudah seumuran kakekku yang koliho asal** sebulan lalu dalam usia tujuh puluh tiga tahun. Kakek yang semangat menuntut ilmunya tinggi hingga mengantarnya bersekolah di universitas bergengsi di luar negeri sana. Kakek yang semangat meraih cita-citanya selalu kupanuti. Yang membanggakanku terlahir sebagai cucunya. Sayang nasib baik yang menyambangi kakek sepertinya tidak berpihak pada lelaki tua itu.

Sunyi raut lelaki tua, lusuh, berewokan dan berpakaian kumal itu. Miskin ekspresi. Kuikuti arah tatapannya. Tiga anak berseragam merah putih yang berdiri di sisi jalanlah objeknya. Kemudian sesungging senyum melengkung di bibirnya. Dilanjutkan dengan bahak paling memiris yang pernah kudengar. Tawa yang menyeramkan. Tak lama sesudahnya, mulutnya komat kamit membahasakan hal-hal yang tidak kumengerti. Tangannya sibuk menggaruk-garuk kulit kepalanya. Mungkin mencari gigitan kutu yang membekas.

Diedarkan pandanganya ke sekeliling. Karena tak mau diketahui bahwa dia sedang kuperhatikan, buru-buru kupalingkan wajah dan berjalan menuju rumah. Menjauhinya yang kurasa sedang menatapiku tajam.

***

"Jangan dekati laki-laki tua misterius itu. Dia berbahaya. Tadi pagi dia melempari temanmu, Dani, dengan batu hingga kepala Dani dijahit tujuh. Padahal Dani hanya ingin menanyakan namanya untuk tugas kampusnya. Benar-benar jahat si tua itu. Bibi Ijah sudah melaporkannya ke polisi. Tapi kata polisi laki-laki itu gila. Dan orang gila tidak bisa ditangkap. Cukup menjauh saja dari dia supaya aman. Jadi ingat itu Rahmat! Jangan dekati dia."

Ibu mewanti-wanti saat kuutarakan niat mengakrabi laki-laki itu. Namun karena dijangkiti penasaran akut, kuacuhkan wejangan itu.

***

Di pagi keenam ketika malam perlahan menanggalkan jubah gelap seperempatnya; subuh telah mengakhiri ritual penghambaannya; dan surya siap-siap menjalankan titah merajai siang, pelan kudekati lelaki tua lusuh itu. Begitu tanganku menyentuh pundaknya yang membelakangi, sontak ia berbalik dan merengkuh kerah baju kokoku dengan kasar. Matanya melototiku yang terkejut mendapat sambutan itu.

"Mau apa kamu hah!? Dasar pengkhianat! Berani-beraninya kau muncul di hadapanku!"

Lelaki itu meneriakiku marah. Lantas mendorongku hingga jatuh terjerembab di tanah. Takut dan bingung memenuhi benakku. Ia meneriakiku pengkhianat? Bagaimana bisa jika baru beberapa hari ini aku melihatnya. Kenal saja tidak.

"Saya tidak ada niat jahat pada Anda. Saya hanya...."

Aku yang hendak berdiri tidak jadi berdiri. Kata-kataku terhenti ketika bersitatap dengan matanya yang menurutku sangar dan mengerikan. Mata yang kurasa hendak menelanku hidup-hidup.

Lalu tiba-tiba aku merasa ada kekuatan magnet yang menarikku. Kuat sekali memasuki mata sangar yang sedang melotot itu. Tak lama tubuhku sudah meluncur dalam labirin gelap. Lumayan lama aku meluncur di dalamnya. Sampai kemudian aku terempas di sebuah tempat asing.

Tidak! Tunggu dulu! Tempat itu tidak asing. Aku mengenalinya. Itu gedung kampusku di Makassar. Hanya saja papan nama kampus bukan bertuliskan Makassar melainkan Ujung Pandang. Suasana kampus pun tidak seramai kampus dengan papan nama bertuliskan Makassar. Meski begitu bangunannya yang tua masih kokoh.

Aku terus memandangi papan itu dalam lamun sampai mataku menangkap dari kejauhan dua sosok laki-laki di antara orang-orang yang lalu lalang. Keduanya dilingkupi warna, sementara selain mereka terlihat hitam putih. Bak gambar televisi tak berwarna era tujuh puluhan.

Dua laki-laki itu akrab sekali. Mereka jalan berangkulan dan tertawa bahagia. Sempat kudengar mereka memanggil satu sama lain “sahabatku”. Oh... itu artinya mereka bersahabat. Bisa kusebut sahabat kental. Sahabat yang sudah seperti saudara kandung.

Aku ingin mengenali wajah mereka namun yang tampak hanya seorang saja. Wajah yang satunya lagi samar-samar. Kupusatkan perhatianku pada lelaki yang wajahnya tampak itu. Aku tidak mengenalnya. Namun aku mengenali matanya. Yah... itu mata yang sama dengan mata yang menarikku ke tempat ini. Hanya saja arti sorot keduanya berbeda.

Kemudian aku merasa sekitaranku berputar. Aku seperti berada dalam benda bulat yang diputar-putar. Ketika berhenti aku telah berada di sebuah ruangan remang-remang dengan kepalaku yang malah berputar-putar. Ruangan dua kali tiga itu kukira sebuah kamar indekos mahasiswa. Rak yang dipenuhi buku-buku dan jadwal kuliah menjelaskan itu.

Aku baru menyadari bahwa bukan hanya aku di ruangan itu. Seseorang duduk dan menyembunyikan kepalanya di balik sepasang lutut yang tertekuk di sudut kamar. Sesaat kemudian ia mengangkat wajahnya. Loh! Itu lelaki di kampus tadi? Yang kukenali matanya. Tapi mengapa tak kulihat sorot bahagia dalam matanya seperti tadi. Justru sebaliknya, ada amarah bercampur kekecewaan dan tangis di sana. Ia meremas-remas selembar kertas di tangannya. Lalu ia buang kasar remasan kertas itu sambil berteriak marah.

"Pengkhianaaaaaaaat......! Pengkhianaaaaaaaaat........! Hu...hu...hu..."

Aku tersentak dengan teriakan marah diikuti segukan itu. Aku dekati ia. Duduk di depannya dan memegang pundaknya. Mencoba menenangkan. Namun tanganku tak bisa menyentuh pundaknya. Terasa seperti memegang angin. Rupanya aku ini hanya bayangan. Dan rupanya pula, ia tidak mengetahui keberadaanku. Maka berdirilah aku dan kuraih remasan kertas yang ia buang tadi. Kubaca asal kemarahan lelaki itu.

Maafkan aku sahabatku. Aku tahu aku bersalah padamu. Tapi dengan cara inilah aku bisa mewujudkan impianku. Beda dengan kau yang masih punya kesempatan meraih beasiswa itu di lain waktu karena kecerdasanmu. Sementara aku tak bisa begitu. Maka cara ini kutempuh. Sekali lagi maafkan aku, Sobat.

Aku ternganga dengan isi kertas itu. Astaga! Sebuah pengkhianatan dari sahabat sendiri kah? Oh... betapa hancur hatinya menghadapi kenyataan itu jika begitu adanya. Meski aku tidak tahu apa bentuk pengkhianatannya, iba juga aku melihat lelaki itu. Ketika itu ia menangkap pandanganku. Dan mata amarah penuh kekecewaan itu sekonyong-konyong menarik tubuhku hingga terjungkal di dalamnya. Aku kembali berada dalam labirin gelap dalam waktu lama. Tak lama di depanku muncul cahaya. Aku pun meluncur masuk dalam cahaya itu.

***

Mata itu masih menatapku tajam. Mata dengan sorot amarah penuh kekecewaan yang sama. Mata yang dimiliki lelaki tua gondrong dan dipanggil orang gila oleh anak-anak sekampung.

"Kau sudah lihat semuanya, kan? Kamu sudah tahu pengkhianatan itu, kan? Sahabat yang telah kuanggap seperti saudara kandung merampas hakku. Bahkan berkata Aku masih punya kesempatan di lain waktu. Huh! Tidak tahukah dia kalau untuk biaya kuliah di Ujung Pandang sana saja orang tuaku menjual tanah dan kebun pala hingga tak tersisa? Tidak tahukah dia kalau dengan mendapat beasiswa itu aku bisa melanjutkan kuliah yang terancam putus karena tak ada lagi biaya? Tidak tahukah ia kalau namaku dalam daftar penerima beasiswa yang ia ganti namanya telah menghancurkan hidupku? Dan dia berkata aku masih punya kesempatan lain? Cuih....!"

Napasnya megap-megap mengeluarkan rasa hati yang telah berkarat karena –pikirku—terpendam lama itu. Meski begitu ia tetap menatapiku tajam. Aku mematung di tempat tanpa suara. Bermain dengan keterkejutan dan iba pada lelaki di depanku. Tak berani kupandangi ia.

Lama kami diselimuti diam. Sampai ekor mataku menangkapnya berjalan mendekatiku. Aku ketakutan karena di genggaman tangannya aku melihat sebuah batu. Di jarak duapuluh cm tiba-tiba aku mendengar sebuah bunyi. Dan oh... bunyi itu berasal dari perutnya.

"Aku lapar. Beri Aku makan. Beri aku makan..."

Di antara tatapan menusuk itu ia mengiba. Mengharap belas untuk keroncongan perutnya yang terus bernyanyi ria. Menyirnakan keterkejutanku atas sikap ganasnya yang tiba-tiba melunak. Dan menumbuhkan rasa kasihanku akan kepayahannya.

"Saya tidak bawa makanan sekarang. Kita ke rumah ya? Ibu saya masak nasi goreng. Kita makan nasi goreng sama-sama di rumah saya. Itu di sana rumahnya. Yang bercat biru. Dekat, kan?" kuajak ia menghilangkan laparnya sambil menunjuk rumah orang tuaku.

Ia diam saja. Tidak menggeleng tidak juga mengangguk. Aku salah tingkah dibuatnya. Aku hendak mendekati dan menuntunnya ke rumah. Namun aku masih berjaga-jaga jangan sampai batu di tangannya ia ayunkan padaku. Maka bersitataplah kami dalam diam. Hingga sejurus kemudian ia mengangguk lemah. Batu di tangan ia lepaskan. Ia berjalan mendekatiku dan serak berbisik padaku.

"Aku lapar. Beri Aku makan sekarang."

***

Rumah kelihatan sepi. Ayah dan ibu pasti sudah pergi ke kantor pagi-pagi sekali. Kusuruh lelaki tua itu duduk sebentar di kursi teras. Aku akan mengambil nasi goreng untuk kami berdua. Kemudian makan di teras ini.

"Tunggu di sini ya. Saya ambilkan nasi gorengnya. Kita makan di sini sambil menikmati mawar-mawar ibu saya yang merekah."

Ia tak mengangguk tapi langsung duduk. Matanya merambati setiap bagian teras dan taman bunga kecil di depannya. Kutinggalkan ia dan masuk ke dalam rumah.

Aku mengisi dua piring dengan nasi goreng di atas meja. Satu piring kusendoki hingga menggunung. Itu untuk lelaki tua di depan sana. Kemudian aku menyeduh teh manis hangat. Kubawa sarapan itu dengan nampan ke teras. Baru tiga kali melangkah tiba-tiba...

Prang...!

Aku terkejut mendengar sesuatu seperti kaca pecah. Lalu suara teriakan dan beling yang diinjak-injak. Arah suaranya dari ruang tamu. Segera kutaruh kembali nampan di atas meja makan dan berlari ke depan.

"Pengkhianaaaaa......at! Pengkhianaaaaa......at!"

Itu teriakan lelaki tua lusuh itu. Ia seperti kesetanan. Kakinya berlumuran darah karena menginjak-injak beling bingkai foto yang pecah di lantai. Mulutnya terus meneriaki kata pengkhianat dan menunjuk-nunjuk foto berbingkai pecah itu. Aku terhenti di pintu. Terdiam dan lemas dalam keterkejutan yang sangat. Tahulah aku sekarang. Gambar dalam foto yang sedang diinjak-injak lelaki tua dengan beringas itu adalah dia, sahabatnya, almarhum kakek kebanggaanku.

***
Tidore-Makassar, Oktober 2009-Juni 2010

Catatan :

* Kota Daeng : Sebutan lain Kota Makassar.

** Koliho asal : Ungkapan orang-orang Tidore ketika mengabarkan seseorang meninggal dunia. Koliho asal artinya kembali ke asal manusia yaitu pada Allah swt.

Bisa juga dibaca di :

1. http://www.lampungpost.com/cetak/berita.php?id=2010121200120032

2. http://ceritaujungpulau.blogspot.com/search/label/Aida%20Radar

3. http://galericerpen-flp.blogspot.com/2010/12/mata-pencerita.html


Wednesday, January 12, 2011

Terlambat Diposting! Kurang'mi Euforianya... Tapi Tak Apa! ^_^



PIALA AFF 2010 DAN HARGA DIRI BANGSA


Oleh : Aida Radar


Apa yang kita rasakan ketika melihat Tim Nasional (Timnas) Malaysia mengangkat tropi Asian Football Federation (AFF) dengan penuh kemenangan di Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK) pada Rabu malam 29 Desember 2010 kemarin? Apakah kita ingin menangis (atau bahkan telah menangis), kecewa dan murung, menahan dada yang sakit seperti ada yang mencabik-cabik, atau malah telah menghancurkan pesawat televisi yang menampilkan kemenangan TimNas Indonesia namun ternyata tidak juara?


Jika pertanyaan tersebut ditujukan pada saya, maka segala yang berbau kecewa dan tangis merupakan jawabannya. Saya demikian kecewa dan menangis. Kekalahan melawan TimNas Malaysia menjadi pukulan terbesar bagi saya. Padahal saya hanya berdiri di depan layar kaca dan tidak ambil bagian dalam permainan di lapangan sana. Saya merasa harga diri saya sebagai warga Negara Indonesia ‘jatuh’ akibat kekalahan di lapangan hijau itu. Saya benar-benar merasakan jatuhnya harga diri itu. Ternyata saya waktu itu dijangkiti penyakit ‘Nasionalisme Kabur’. Mengapa saya katakan kabur? Selesaikanlah tulisan ini sampai akhir. Kau akan tahu jawabannya.


Namun epidemi ‘Nasionalisme Kabur’ itu terjadi sebelum saya membaca sebuah surat dari E.S Ito (yang adalah pengarang idola saya) yang beredar di dunia maya dan banyak menjadi perbincangan hangat pasca final AFF. Surat itu terlihat seperti surat yang biasa. Surat biasa yang lazimnya ditulis seseorang dan ditujukan pada seseorang. Tapi kemudian surat itu menjadi tak biasa karena ditulis oleh seorang pengolah kata andal dan ditujukan pada seorang mengocak bola mumpuni yang menjadi pemimpin di tim kesebelasan Indonesia di tengah euforia yang menyala-nyala. Ya, E.S Ito menulis surat kepada Firman Utina.


Setelah saya membaca tuntas isi surat itu, segala pemikiran dan ‘nasionalisme kabur’ yang saya rasakan sebelumnya sesegera melumer. Sungguh ajaib isi surat itu bagi saya yang membacanya (apalagi bagi dia yang surat itu ditujukan), karena ia langsung mengubah mindset berpikir saya egois dan sempit ini. Dan terkait rasa harga diri yang ‘jatuh’ itu, ah... E.S Ito berhasil membuka mata saya akan apa hakikat harga diri itu dengan sempurna : “Sepak bola tidak ada urusannya dengan garuda di dadamu, sebab simbol hanya akan menggerus kegembiraan. Sepak bola tidak urusannya dengan harga diri bangsa, sebab harga diri tumbuh dari sikap dan bukan harapan.” (Paragraf ke-4).


Beri perhatian lebihmu pada kalimat yang saya tebalkan dan miringkan! Apa yang kau rasakan?


Maka, saya postinglah isi surat E.S Ito di rumah ini. Bacalah dengan sepenuh hati dan seksama. Niscaya manfaat akan kau dapatkan darinya, dan bahkan mungkin bisa mengubah jalan pikiranmu seandainya kau sempat menyimpan ‘nasionalisme kabur’ sepertiku sebelumnya. Namun pabila kau sudah membacanya, silahkan dilewati saja. Tapi akan lebih baik lagi jikalau kau sempatkan membacanya sekali lagi. Setidaknya itu membuatmu bisa lebih lama mengingatnya (atau bahkan meleburkannya dalam hatimu). Sehingga itu dapat membantumu mengambil jarak dari sebuah penyakit bernama ‘amnesia” yang demikian parahnya menjangkiti sebagian besar populasi penduduk dari sebuah negara besar ber­-title Indonesia ini.


Surat E.S Ito pada Firman Utina


Surat Untuk Firman


Kawan, kita sebaya. Hanya bulan yang membedakan usia. Kita tumbuh di tengah sebuah generasi dimana tawa bersama itu sangat langka. Kaki kita menapaki jalan panjang dengan langkah payah menyeret sejuta beban yang seringkali bukan urusan kita. Kita disibukkan dengan beragam masalah yang sialnya juga bukan urusan kita. Kita adalah anak-anak muda yang dipaksa tua oleh televisi yang tiada henti mengabarkan kebencian. Sementara adik-adik kita tidak tumbuh sebagaimana mestinya, narkoba politik uang membunuh nurani mereka. Orang tua, pendahulu kita dan mereka yang memegang tampuk kekuasaan adalah generasi gagal. Suatu generasi yang hidup dalam bayang-bayang rencana yang mereka khianati sendiri. Kawan, akankah kita berhenti lantas mengorbankan diri kita untuk menjadi seperti mereka?


Di negeri permai ini, cinta hanyalah kata-kata sementara benci menjadi kenyataan. Kita tidak pernah mencintai apapun yang kita lakukan, kita hanya ingin mendapatkan hasilnya dengan cepat. Kita tidak mensyukuri berkah yang kita dapatkan, kita hanya ingin menghabiskannya. Kita enggan berbagi kebahagiaan, sebab kemalangan orang lain adalah sumber utama kebahagiaan kita. Kawan, inilah kenyataan memilukan yang kita hadapi, karena kita hidup tanpa cinta maka bahagia bersama menjadi langka. Bayangkan adik-adik kita, lupakan mereka yang tua, bagaimana mereka bisa tumbuh dalam keadaan demikian. Kawan, cinta adalah persoalan kegemaran. Cinta juga masalah prinsip. Bila kau mencintai sesuatu maka kau tidak akan peduli dengan yang lainnya. Tidak kepada poster dan umbul-umbul, tidak kepada para kriminal yang suka mencuci muka apalagi kepada kuli kamera yang menimbulkan kolera. Cinta adalah kesungguhan yang tidak dibatasi oleh menang dan kalah.


Hari-hari belakangan ini keadaan tampak semakin tidak menentu. Keramaian puluhan ribu orang antre tidak mendapatkan tiket. Jutaan orang lantang bersuara demi sepakbola. Segelintir elit menyiapkan rencana jahat untuk menghancurkan kegembiraan rakyat. Kakimu, kawan, telah memberi makna solidaritas. Gocekanmu kawan, telah mengundang tarian massal tanpa saweran. Terobosanmu, kawan, menghidupkan harapan kepada adik-adik kita bahwa masa depan itu masih ada. Tendanganmu kawan, membuat orang-orang percaya bahwa kata "bisa" belum punah dari kehidupan kita. Tetapi inilah buruknya hidup di tengah bangsa yang frustasi, semua beban diletakkan ke pundakmu. Seragammu hendak digunakan untuk mencuci dosa politik. Kegembiraanmu hendak dipunahkan oleh iming-iming bonus dan hadiah. Di Bukit Jalil kemarin, ada yang mengatakan kau terkapar, tetapi aku percaya kau tengah belajar. Di Senayan esok, mereka bilang kau akan membalas, tetapi aku berharap kau cukup bermain dengan gembira.


Firman Utina, kapten tim nasional sepak bola Indonesia, bermain bola lah dan tidak usah memikirkan apa-apa lagi. Sepak bola tidak ada urusannya dengan garuda di dadamu, sebab simbol hanya akan menggerus kegembiraan. Sepak bola tidak urusannya dengan harga diri bangsa, sebab harga diri tumbuh dari sikap dan bukan harapan. Di lapangan kau tidak mewakili siapa-siapa, kau memperjuangkan kegembiraanmu sendiri. Di pinggir lapangan, kau tidak perlu menoleh siapa-siapa, kecuali Tuan Riedl yang percaya sepak bola bukan dagangan para pecundang. Berlarilah Firman, Okto, Ridwan dan Arif, seolah-olah kalian adalah kanak-kanak yang tidak mengerti urusan orang dewasa. Berjibakulah Maman, Hamzah, Zulkifli dan Nasuha seolah-olah kalian mempertahankan kegembiraan yang hendak direnggut lawan. Tenanglah Markus, gawang bukan semata-mata persoalan kebobolan tetapi masalah kegembiraan membuyarkan impian lawan. Gonzales dan Irvan, bersikaplah layaknya orang asing yang memberikan contoh kepada bangsa yang miskin teladan.


Kawan, aku berbicara tidak mewakili siapa-siapa. Ini hanyalah surat dari seorang pengolah kata kepada seorang penggocek bola. Sejujurnya, kami tidak mengharapkan Piala darimu. Kami hanya menginginkan kegembiraan bersama dimana tawa seorang tukang becak sama bahagianya dengan tawa seorang pemimpin Negara. Tidak, kami tidak butuh piala, bermainlah dengan gembira sebagaimana biasanya. Biarkan bola mengalir, menarilah kawan, urusan gol seringkali masalah keberuntungan. Esok di Senayan, kabarkan kepada seluruh bangsa bahwa kebahagiaan bukan urusan menang dan kalah. Tetapi kebahagiaan bersumber pada cinta dan solidaritas. Berjuanglah layaknya seorang laki-laki, kawan. Adik-adik kita akan menjadikan kalian teladan! (Source : tempointeraktif.com).


* * *


/Makassar, 31 Desember 2010



Monday, January 03, 2011

Silaturahmi...


SEBUAH PERTEMUAN, SEBUAH GHIRAH BARU

(Sebuah Catatan Silaturahmi)

Oleh : Aida Radar

Senin, 3 Januari 2010, pukul 04.52 WITA.


Ini adalah hari senin yang biasa. Senin yang sama dengan senin senin sebelumnya, begitu kata yang lain. Tapi tentu itu bukan kata kami. Pagi di senin ini, Saya —dan FLPers lainnya, Nendenk, Andi Asra, Fatimah Az Zahra, dan Mawaddah (adik saya) menerjang dinginnya ba’da subuh jalanan Kota Makassar dengan semangat yang tetap sama seperti semangat-semangat FLPers dalam setiap agenda yang telah kami adakan (walaupun kadang semangat ber-FLP kami kadang sempat ‘drop’ beberapa saat karena beberapa masalah. Bukankah itu biasa dalam kepengurusan sebuah organisasi? ^_^).


Sebelumnya saya kira FLP hari ini akan menjadi Forum Lingkar Perempuan. Alasannya? Tidak ada ikhwan yang mengonfrimasi kehadiran di inbox hape saya ketika saya sms menanyakannya semalam. Namun, akhirnya sang sekretaris umum, Muhammad Yusuf dan sekretaris umum yang lain, Munawir (lho kok ada dua sekretaris? Kamu akan bertanya demikian, kan? Saya jawab, iya. Lha sekretaris umum kedua yang saya sebut ‘kan demisioner. ^_^), juga tiba di tempat silaturahmi yang kami janjikan. Maka, setelah lengkap pasukan, bergegaslah sang resepsionis ditemui.


“Permisi!”


“Ya, ada yang bisa dibantu?”


“Kak, kami sudah buat janji dengan Kang Abik,” kata saya bersemangat.


“Janji dengan siapa?” Resepsionis bingung. (Kok bisa? ^_^)


“Eh, kami sudah buat janji dengan Habiburrahman El Shirazy, tamu hotel ini di sini. Dan kami diminta menunggu di lobby. Bisa’ji, Kak.”


“Oh ya, silahkan.”


“Terimakasih, Kak.”


Maka, menunggulah kami di lobby hotel itu. Huaaahhh saya sangat dumba’-dumba’ (ini dialek Makassar yang kurang lebih menunjukkan saya deg-degan), dan saya yakin begitu pula dengan teman FLPers yang lain. Aura wajah kami pagi ini rupanya tidak bisa menyimpan dumba’-dumba’ itu hanya di dalam dada, karena ianya sangat nampak setiap kali mata saya menangkap wajah-wajah penuh semangat itu. Kemudian, pintu lift di samping kiri depan kami terbuka. Dan, subhanallah Sang Tangan Emas itu muncullah,


“Assalamu’alaikum.”


“Wa’alaikumsalam Warahmatullah.”


Dan kami pun tersihir sejenak (dalam hati saya, di sudut lobby bagian mana si Harry Potter bersembunyi dan menyimpan tongkat sihirnya hingga ia bisa menyihir kami dengan begitu leluasa tanpa disadari seperti saat ini? ^_^)


Yah, kami tersihir. Oleh dia. Lelaki itu, bukan karena mantra si Potter (karena saya tidak mendengar suara mantra itu ^_^). Lelaki berkaos garis-garis coklat putih, berkopiah hitam, menenteng sebuah tas cangklong hitam (bukan hijau tua, karena itu milik Fahri Bin Abdullah Siddiq ^_^) di bahu kanan, bersendal semi sepatu coklat, dan berkacamata itu berjalan mendekati kami dan melempar sebuah salam dan senyum yang sangat apik sekali. Momen kesan pertama yang terang menampakkan karakter pemiliknya, ramah. Setidaknya itu menurut saya. (Ada komentar? ^_^)


Lelaki itu (ah, baiknya saya panggil ustadz saja. Lebih pas), Ustadz Habiburrahman El Sirazy menjabat tangan dua ikhwan yang ada dan menelungkupkan tangan pada kami, para akhwat. Duduk. Dan menanyai nama kami satu persatu.


“Lalu mana ketua FLP-nya?”


“Ketua FLP lagi di jalan menuju kesini, Ustadz.”


Kata sebuah tagline rokok, bukan basa basi, tapi sepertinya kami harus basa basi untuk menetralisir dumba’-dumba’ sebelum ‘sharing’ tentang banyak hal pada Kang Abik, demikian sapaannya. Dan basa basi kami itu ternyata berhasil. Silaturahmi menjadi sangat mengalir. Kang Abik bercerita mengenai banyak hal. Tentang bagaimana beliau pertama kali membentuk FLP di Mesir; bagaimana beliau mengadakan training kepenulisan selama 11 hari dengan mengundang pemateri langsung dari Indonesia, yang salah satunya adalah founder FLP, Mbak Helvy Tiana Rosa, dengan dana yang tidak banyak; bagaimana proses kreatifnya dalam menulis kisah-kisah rekaan inspiratif pembangun jiwa yang best seller (bahkan mega best seller) dan mengukuhkannya sebagai salah satu penulis terbaik yang dimiliki Ibu Pertiwi kita ; bagaimana beliau berjuang walau kerap ditolak penerbit untuk buku yang diterjemahkannya; bagaimana beliau berdarah-darah dalam menulis, dan sebagainya.


“Awalnya orang-orang mengira Ayat-Ayat Cinta itu muncul tiba-tiba, tanpa melewati proses panjang, langsung ‘dhuaarrr!’ ada. Padahal mereka tidak tahu bahwa untuk booming itu, saya sudah mendarah-darah sebelumnya. Menulis dan bedah karya tanpa henti. Ditolak penerbit waktu nerjamahin buku tiada henti. Buku pertama yang saya tulis itu Ketika Cinta Berbuah Surga, kemudian Pudarnya Pesona Cleopatra, lalu Ayat-Ayat Cinta ketika kaki saya patah dan selama satu bulan tidak bisa pergi kemana-mana. Jadi penuh perjuangan.” (Wow! Semangat yang ruaaarrr biasa, ini kata saya ^_^).


“Naskah Ayat-Ayat Cinta itu kemudian saya perlihatkan pada sastrawan yang saya kenali. Salah Satunya Mas Ahmadun (Yofi Herfanda.Z) dan beliau menawarkan untuk dimuat bersambung di Republika. Setelah beberapa kali dimuat, ternyata banyak yang suka. Saya sangat senang karena setiap hari Republika itu ditunggu pembaca karena Ayat-Ayat Cinta. Begitu seterusnya hingga cerita berakhir. Tak lama, dibukukanlah cerita bersambung itu menjadi novel Ayat-Ayat Cinta, dan booming. Maka, karya-karya yang telah saya tulis sebelumnya, Ketika Cinta Berbuah Surga dan Pudarnya Pesona Cleopatra pun ikut booming dan dicetak ulang beberapa kali.” (Subhanallah...)


“Jadi seperti itu. Semua kesukseksan itu membutuhkan proses dan perjuangan yang berdarah-darah.” (Hanya orang-orang yang konsisten yang InsyaAllah bisa meraihnya, Amin. Ini kata saya lho... ^_^).


“Kalau membaca Bumi Cinta, pembaca akan berpikir saya pernah bertahun-tahun tinggal di Moskwa, Rusia. Karena segala detil Kota Moskwa yang ada di Rusia sana, bisa saya deskripsikan dengan baik. Padahal saya belum pernah pergi ke Rusia, lho. Belum pernah menginjakkan kaki di Moskwa. Tapi saya tahu setiap lorong-lorong kecil di sana dan saya tuangkan dalam Bumi Cinta ini (sambil menunjuk novel Bumi Cinta saya). Dan setting yang tertulis di sini InsyaAllah bisa saya pertanggungjawabkan.” (tersenyum lagi).


Lantas bagaimanakah kabar kami? Oho! Kami ternyata takjub luar biasa. “Kok bisa, Ustadz? Bagaimana caranya?” suara salah satu dari kami lepas.


“Bisa. Untuk menulis Bumi Cinta, saya melakukan riset selama satu tahun. Riset di sini bukan berarti hanya membaca di Google saja. Tapi riset yang sesungguhnya. Apabila saya mendengar ada orang yang pernah tinggal di Rusia selama bertahun-tahun, saya akan datangi orang itu dan menanyakan segala yang saya butuhkan mengenai Rusia, khususnya Moskwa. Jadi menulis, walaupun itu novel, juga sangat membutuhkan riset.” (tersenyum lagi).


Di sela-sela pembicaraan kami, datanglah ketua FLP Sulsel, Fitrawan Umar dan ketua FLP ranting Unhas, Supriadi. Maka, tak saya sebut lagi FLP sebagai Forum Lingkar Perempuan karena empat ikhwan sudah resmi mengagalkannya dengan cemerlang. ^_^


“Jadi, mau dibawa ke mana ini FLP di Sulsel? (atau Makassar, ya? ^_^)” tanya Kang Abik pada sang ketua FLP Sulsel yang dibalas senyum.


“Sudah pada nonton Dalam Mihrab Cinta atau belum?” tanya Kang Abik lagi.


“Sudah.” (sekitar empat suara)


“Belum.” (sisa suara yang hadir)


“Wajib nonton loh, yaaaa.”


“He-eh InsyaAllah.”


“Ide itu sesuatu yang berharga. Jika punya ide, sebaiknya cepat dituliskan. Novel dalam Mihrab Cinta itu 70 % saya tulis ketika saya berada dalam perjalanan di bus ekonomi dari Solo ke Jogja. Jadi bisa dibayangkan ya bagaimana keadaan bus ekonomi kita dan saya yang membayangkan Samsul Hadi dengan kisahnya. Saya awalnya nggak menyangka ide Dalam Mihrab Cinta yang muncul dan hampir setengah selesai di cacatan saya dalam bus ekonomi Solo-Jogja itu ternyata bisa difilmkan juga hari ini. Jadi kalau punya ide yang terlintas, segeralah menuliskannya!” (Petuah yang berfaedah sekali bagi kami. Syukran Kang Abik. ^_^)


Karena waktu jugalah yang selalu membatasi setiap langkah hidup kita, silaturahmi spesial itu pun diakhiri. (Padahal saya, kami tentunya, masih sangat ingin diciprati proses kretif yang inspiratif dari Kang Abik. Tapi saya mesti berpikir sehat karena saya telah janji sebelumnya dengan manager beliau kalau hanya sampai jam segitu kami bisa bersilaturahmi dengan Kang Abik karena agenda lain beliau telah menunggu. Jadi, meminjam kata Upin Ipin, “tak apelah!” ^_^).


Dan tak lupa, momen tandatangan novel Bumi Cinta, Ayat-Ayat Cinta, Ketika Cinta Bertasbih, Dalam Mihrab Cinta dan Pudarnya Pesona Cleopatra, serta foto-foto bareng tentulah tak bisa dilepaskan dari agenda silaturahmi spesial ini. Bukankah dokumentasi itu adalah media penceritaan yang real dan abadi? Hehe


Perpisahan kami (semoga Allah mempertemukan Kang Abik dan kami lagi di lain kesempatan, bersama dengan mimpi menjadi penulis —seperti beliau, yang telah berhasil kami genggam, Amin) berlangsung begitu cepat.


“Terimakasih atas waktunya, Ustadz,” kata kami berbarengan.


“Sama-sama. Terimakasih juga karena telah berkunjung kemari,” jawab Kang Abik dengan senyum dan keakraban yang tak pernah lepas darinya.


Mmm, momen kesan penutup yang jelas mengukir karakter pemiliknya, ramah. Tentu ini tak hanya menurut saya, ini menurut kami. Iya ‘kan, temans? (Ada komentar? ^_^)


“Assalamu’alaikum.”


“Waalaikumsalam warahmatullah.”


Dan dengan salam persaudaraan kami bertemu, dengan salam persaudaraan pula kami berpisah. Semoga kami terus menjaga persaudaraan ini dalam sebuah naungan penuh cinta dan rahmat bernama ISLAM dan FLP ini. Amin, Allahuma Amin.


***


/Makassar, pukul 09.30 WITA