Friday, May 28, 2010

Esai IPK...

TELISIK MUSABAB PENYAKIT YANG MENYEBABKAN INDONESIA DUDUK DI KURSI UTAMA SEBAGAI NEGARA TERKORUP SE-ASIA PASIFIK

Oleh : Aida Radar


Adakah sebuah kebenaran bahwa perilaku curi-mencuri, bagi-bagi tip sebagai ungkapan terima kasih dan “Wah... dia adalah keluargaku, maka kuberi jabatan yang berkualitas” sejatinya adalah perilaku yang lazim dalam akar kekayaan budaya Indonesia? Ataukah dia-nya merupakan transformasi nilai hasil contek-mencontek dari ketakterhinggaan sikap yang berhamburan di atas muka bumi ini? Atau iyakah cerita perihal perbuatan itu hanyalah kerjasama budaya dan hasil contek mencontek temaksud?


IPK (Indeks Prestasi Korupsi)

Mengawali bulan ke-tiga pada pergantian masehi di 2010 yang penuh euforia canda tawa dan senyuman yang tak henti-hentinya mengembang ketika 2009 melepas jubah kekuasaannya, negara tercinta kita mengukir prestasi luar biasa di kancah perhelatan paling memukau di dunia ini. Sebuah kursi kebesaran yang paling dinanti-nanti pengumuman kepemilikannya itu mendudukan Indonesia sebagai negara nomor satu yang berhak menyabet predikat negara terkorup se-Asia Pasifik. Susul menyusul kemudian, Kamboja, Vietnam, Filipina, Thailand, India, China, Taiwan, Korea, Macau, dan Malaysia. Sedangkan Singapura mencetak hasil nol besar yang mengukuhkannya sebagai negara terbersih di dunia.


Adalah Politic and Economic Risk Consultancy (PERC), sebuah perusahaan konsultan yang berbasis di Hong Kong, yang mengeluarkan hasil survei mencengangkan itu hingga membelalakkan mata sekaligus mengecat warna merah kepiting rebus di wajah masing-masing kita yang Kartu Tanda Penduduknya menuliskan Republik Indonesia. Sejatinya penamaan Indeks Prestasi Korupsi (IPK) ini adalah Indeks Persepsi Korupsi. Namun penulis memelesetkan kata Persepsi menjadi Prestasi. Mengingat begitu mudahnya gelar juara berbintang itu menyemat di bahu kita. Maka, patutnya Prestasilah yang mengganti Persepsi.


Berikut adalah hasil survei PERC atas prestasi yang ditoreh Indonesia sejak memasuki arena perhelatan ini 2001 silam. Tahun 2001 hingga menginjak 2003, Indonesia kita mencatut 1,9 nilai IPK; di 2004, nilai 2,0 adalah milik kita; dari 2004 hingga dua tahun kemudian, nilai kita 2,2 dan 2,4; di tahun 2007, IPK kita menurun satu poin menjadi 2,3, lumayan ada penurunan walau hanya satu poin; namun kelegaan itu rupanya tak berlangsung lama, 2008 mencetak 2,6 sebagai nilai kita, meningkat langsung tiga poin; Di 2009 yang masih membekas kemarin, nilai 2,8 merupakan perhitungan tempat kita berdiri; Dan di tahun ini, di 2010 yang masih muda ini, nilai 9,07 dari angka 10 yang kemudian penulis prediksikan dalam indeks pada posiss 3,8 telak menghantam kejemawaan kita hingga ke akar-akarnya.


Wow! Peningkatan indeks prestasi yang luar biasa. Peningkatan nilai yang jika disodorkan pada mahasiswa pemilik IQ di bawah rata-rata akan mencipta jingkrakan seribu rupa. Namun justru nilai itulah menjadi musabab meretaknya kebanggaan dan kepribadian bangsa kita tercinta ini. Miris!


Penyakit Psikologis dan Antropologi

Sayang nian. Sungguh disayangkan. Anak-anak yang telah dilahirkan dari rahim terhormat Ibu Pertiwi, memerciki noda hitam pekat di kefitrahannya yang paling dibanggakan. Karakter yang susah payah dibangun dan dibentuk para pendiri Bangsa ini, malah diporak-porandakan melalui prestasi memalukan itu. Segenap masyakarat—termasuk penulis— tak hentinya menyuat tanya, ihwal apakah yang memerangkapi perilaku tidak terpuji itu beranak pinak di Negeri ini. Bahkan dengan mudahnya ber-regenerasi bak jamur di musim penghujan. Subur sekali.


Sebab tanya itu telah membengkak dalam benak, penulis kemudian menelusuri berbagai literatur untuk mengungkap jawab dari tanya itu. Bermacam sumber penulis telisiki hingga menemukan beberapa penyebab perilaku tiga suku kata ini: KO-RUP-SI, merajalela.


Mengapa seseorang melakukan korupsi? Pada dasarnya ada dua alasan mengapa seseorang menjabani dunia hitam ini. Motif yang pertama ialah karena dorongan kebutuhan (need driven) dan kedua yaitu dorongan kerakusan (greed need). Rata-rata pengakuan yang muncul dari mulut-mulut pesakitan yang duduk di meja hijau setelah tertangkap melakoni kegiatan pencurian ini adalah karena dorongan kebutuhan. Bahwa upah yang mereka terima tidak pernah mencukupi kepulan asap di dapur rumah selama satu bulan. Namun, Komarudin Hidayat menuliskan justru dorongan kerakusanlah yang sebenarnya menjadi pemicu korupsi di Indonesia. Menurutnya, salah satu sifat bawaan manusia itu selalu mendekati dan mengejar kesenangan (pleasure) dan penghindari penderitaan (pain). Dalam konteks korupsi, mengingat korupsi cepat mendapatkan kekayaan tanpa mesti kerja keras, secara psikologis seseorang akan mudah tergerak untuk korupsi. Dan hal itu merupakan krisis mental yang telah kronis. (uinjkt.ac.id, 13 April 2010).


Amich Alhumani, seorang kandidat doktor antropologi pada University of Sussex dalam artikel di Kompas.com edisi 15 Desember 2008, menuliskan adanya kemungkinan perilaku korupsi disebabkan budaya yang melekat pada suatu masyarakat. Hal itu didasarkan pada teori gift exchange atau gift-giving dari ahli antropologi Perancis, Marcel Mauss (The Gift, 1954). Bahwa dalam masyarakat primitif, relasi sosial dan interaksi sosial berlangsung hangat dan dekat satu sama lain hingga tercermin kebiasaan bertukar hadiah (gift exchange). Dalam budaya masyarakat Jepang, dikenal istilah “Omiyage” atau memberikan cinderamata pada mitra bisnisnya.


Oleh karena itu, yang menjadi pertanyaan kemudian adalah, adakah dalam sejarah kebudayaan Indonesia, tradisi “Omiyage” itu? Ataukah hanyalah bagian dari mengikuti budaya bangsa lain? Penulis kembalikan pada pembaca untuk menjawabannya sesuai paradigma masing-masing.


Penawar Tanpa Bahan Kimia

Korupsi. Sebab kata ini adalah penyakit menggerogoti kejiwaan atau psikologis yang telah divonis kronis, yang karena dibuat-buat sebagai tradisi dan budaya turun temurun bangsa ini tanpa pemberian punisment yang sesuai, maka tindakan penyembuhannya haruslah kembali pada penyucian diri. Menyirami ruh yang kering kerontang itu dengan sejumput cara hidup yang sesuai dengan kepribadian bangsa dan nilai-nilai agama yang diwariskan Rasulullah Muhammad SAW —bagi muslim dan muslimah.


Terapi menghindari atau mengenyahkan praktik korupsi dalam diri seseorang haruslah dimulai dengan taubat yang setaubat-taubatnya. Kemudian merenda hidup baru dengan niat yang ikhlas karena Allah Azza Wa Jalla. Sikapi hidup di dunia berdasarkan ajaran Ilahi. Mensyukuri nikmat, sabar, ridha, jujur, menumbuhkan sikap malu, dan muhasabah (introspeksi diri). Karena Rasulullah SAW pernah bersabda, “Setiap daging yang tumbuh dari mengonsumsi yang haram (as-suht), maka neraka lebih berhak baginya. Maka sahabat bertanya, “Ya Rasulullah apa itu as-suht?” Rasulullah menjawab, “Suap menyuap di dalam hukum”. (HR. Baihaqi).


Maka, wahai para pesakit yang ingin sembuh dari penyakit kronis yang menggerogoti, punya niat untuk berobat? Wallau’alam.

***


*Aida Radar adalah nama pena dari Ummu Syahidah A.R Badar. Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Inggris angkatan 2007, Universitas Muhammadiyah Makassar. Bergiat di Forum Lingkar Pena Wilayah Sulawesi Selatan dan LKIM-PENA Unismuh Makassar.



Tuesday, May 04, 2010

Cerpen Surabaya Post, 25 April 2010...


PERNIKAHAN SATIR


Oleh : Aida Radar

Kami berdua meng-arca. Hening. Tiada suara yang membuka cakap. Sebenarnya aku hendak jadi orang pertama yang memecah belah hening berdiam diri ini. Namun sesegera kuurungkan. Egoisme keperempuananku rupanya memilih dominan membisu saja. Maka matilah fungsi mulut beserta isinya. Hiruk pikuk warung lalapan tempe penyek di depan kampus putih ini nyatanya tak banyak andil untuk pengaruhi aksi berdiam diriku dan dia.


Sampai akhirnya ia tak lagi mematung —mungkin juga mengaku kalah. Aku tahu ia coba mencairkan suasana dengan mulai memenyet pelan-pelan tempe di hadapannya. Dan akhirnya ia juga yang pertama melepas jubah gengsinya untuk berbicara padaku. Meski sekali lagi aku paham bahwa ia sedang berusaha mencairkan suasana.


“Kau tidak campurkan sambalnya? Ntar tidak meresap loh. Tidak enak makan tempe penyet yang sambalnya tidak meresap betul,” ujarnya menatapku sambil menunjuk cobek berisi tempe dan sambal yang ada di hadapanku.


Aku masih diam. Dingin dan beku. Lumayan besar juga kegengsianku. Huh! Biar saja. Ini semua kulakukan supaya ia sadar —aku sedang marah besar padanya. Bahwa aku tidak terima permintaan konyol yang baru beberapa detik lalu ia layangkan padaku. Terlebih ia ungkapkan pada saat sedang merayakan satu semester awal pernikahan kami.


“Ayolah Ratna, jangan begitu. Masa kau mau mendiamkanku seperti ini? Aku tahu apa yang kuminta barusan sangatlah menyakitimu. Tapi aku tidak berdaya. Aku harus bertanggung jawab Ratna. Aku ini ayah dari bayi yang sedang ia kandung sekarang. Dan aku harus melakukannya jika aku mau bayi itu nanti memakai namaku di belakang namanya. Tolonglah. Mengerti posisiku sekarang,” sambungnya putus asa menghadapi keacuhanku.


“Mengerti?! Mengerti kamu bilang kak? Wanita mana kak yang mau mengerti dan membiarkan suaminya pergi selama sebulan menemui wanita lain hah?! Apalagi wanita itu mantan istrinya!”


Amarahku kini berada di ujung paling atas kepala yang mendidih-didih. Emosi yang hampir berhasil kunetralisir tadi, membuncah lagi. Kalimat yang paling tidak ingin kudengar, terus-menerus ia keluarkan tanpa peduli nyala mataku yang segera akan membakarnya. Ingin rasanya kuteriaki dan kuserapahi ia di tempat ini. Biar tak bisa ia mengangkat muka karena menahan malu. Namun, entahlah! Tak kulakukan. Kepalaku masih menyimpan jernih di antara asap hasil bakar-membakar tadi. Walau bagaimanapun ia tetap suamiku.


Bisa kutangkap gerakan kepalanya yang terperangah. Matanya menciut. Seakan tak percaya. Aku yang selama ini dikenalnya lemah lembut dapat berbicara sekeras itu di depannya. Di tempat umum pula.


Hmm! Itu baru kau tahu siapa aku!


“Pokoknya aku tidak mau tahu. Kau tak boleh pergi. Tidak akan pernah. Apa sih maunya wanita itu? Mengapa ia tidak katakan padamu dulu kalau dia tengah mengandung anakmu? Mengapa setelah kalian resmi bercerai dan kau menikahiku selama enam bulan ini baru dia menuntutmu bertanggung jawab?!”


Aku benci sekali wanita itu —aku sengaja menyebutnya ‘wanita itu’ karena tak mau menyebut namanya. Aku tahu rencananya memaksa suamiku menemaninya hingga melahirkan. Ia tentu mau merebut suamiku dariku. Maka kulminasi dari adu emosiku dan laki-laki di hadapanku ini adalah airmataku yang mulai tumpah. Kekuatan terakhir wanita ini kupilih juga untuk menunjukkan betapa sakitnya hatiku. Aku lalu menantang tatapannya padaku. Ingin kutunjukkan bahwa keputusanku tak bisa diganggu gugat. Tidak akan pernah.


“Aku kecewa padamu Ratna. Aku pikir kau akan mengerti karena kau juga seorang wanita. Wanita yang butuh perhatian ayah dari bayi yang dikandungnya. Dari masa kehamilannya hingga melahirkan. Tapi ternyata aku salah. Jiwa keibuan dan keibaanmu rupanya tidak ada sama sekali. Jujur Ratna, aku kecewa padamu.”


Ia meraih ranselnya di atas meja dan melangkah pergi tanpa memandangku. Meninggalkanku sendiri di warung lalapan ini.

“Aku bukan tidak mau mengerti kak. Aku hanya takut kau tidak akan kembali lagi setelah kau bersamanya. Aku khawatir ia akan membuatmu jatuh cinta lagi dan akhirnya kau akan kembali ke pelukannya. Meninggalkanku yang tidak akan pernah bisa memberimu buah hati,” lirihku memandangi sepeda motornya yang telah meninggalkan warung lalapan ini.


***


Aku tidak pulang semalam. Menginap di rumah Dina—sahabatku— kurasa pilihan tepat. Aku butuh ketenangan. Juga, aku belum mau bertemu muka dengan suamiku. Aku butuh waktu untuk keinginannya. Dan pertanyaan yang terus mengiangiku adalah, haruskah kubiarkan ia menemui wanita itu? Egoiskah aku pabila tidak mengizinkannya bertanggung jawab atas bayi dalam perut wanita itu?


Di tengah kegalauan itu, sekoyong-koyong aku terlempar pada kejadian delapan bulan silam. Wanita itu memergokiku sedang candle light dinner dan bermesraan dengan suaminya. Aku memaksa suaminya menceraikannya dan kemudian menikahiku. Aku mengancamnya menjauh dari kehidupan mantan suaminya yang telah resmi menjadi suamiku.


Seketika tubuhku gemetar. Peluh membasahiku di pagi yang masih berembun ini. Aku tiba-tiba merasa betapa jahatnya aku. Betapa tak tahu dirinya. Merebut suaminya dulu dan kini tak merelakan wanita itu sedikit menikmati kebahagiaan ditemani ayah bayi yang dikandungnyanya. Meskipun mungkin hanya sebulan kebahagiaan itu ia kecap.


Maka, haruskah aku mengizinkan suamiku menemaninya?


Belum sempat terjawab pertanyaan itu, seseorang mengetuk pintu rumah temanku.


“Siapa yang bertamu sepagi ini?” Igau temanku setengah sadar dari tidurnya. Ia hendak berdiri tapi kucegah. Biar aku lihat siapa yang bertamu.


Tamu pagi-pagi itu memang dia. Suamiku. Aku tidak perlu kaget karena aku tahu ia akan mencariku di sini. Tampangnya kusut. Pakaian yang ia kenakan pun pakaian semalam.


“Ratna aku tidak akan menemuinya. Aku tidak akan melakukan itu jika kau memang tidak mengizinkannya. Maafkan aku karena telah membuatmu marah.”


Ia kemudian membenamkanku yang kaget di dadanya. Pikirku ia masih akan memintaku mengerti dan mengizinkannya pergi. Aku senang sekali karena ia memilihku ketimbang menemui wanita itu. Namun entah mengapa aku lalu berkata, “Pergilah...”


Pelan kata itu meluncur dari bibirku. Aku melepas rangkulannya. Kudapati ia kaget dengan apa yang didengarnya. Tapi bukan hanya ia yang kaget. Aku pun kaget. Aku heran, entah mengapa kuizinkan ia pergi.


“Apa aku tidak salah dengar Ratna? Kau mengizinkanku menemuinya? Benarkah itu Ratna?”


Aku melihat mentari di hitam bola matanya. Ia memastikan kembali apa yang kuucap tadi. Dan entah mengapa, aku mengangguk lagi.


“Ah... terima kasih Ratna. Terima kasih. Aku tahu kau pasti akan mengerti. Aku tahu itu.”


Ia tertawa renyah dan kembali akan memelukku. Tapi cepat kucegat.


“Tunggu dulu! Jangan senang dulu. Aku memang mengizinkanmu pergi kak. Tapi kau harus berjanji akan segera kembali setelah wanita itu melahirkan. Kau tak boleh berlama-lama di sana. Maukah kau berjanji padaku kak?”


“Tentu saja Ratna. Aku janji. Aku akan segera kembali padamu setelah ia melahirkan,” serunya girang dan langsung memelukku walau masih kucegah.


Aku mungkin wanita terbodoh sedunia. Wanita tertolol. Satu-satunya wanita yang mengizinkan suaminya bersama mantan istrinya selama sebulan. Tapi itulah yang kulakukan. Dan entah mengapa aku merasa lapang telah bersikap begitu.


***


Dua bulan sudah suamiku pergi. Desas-desus beberapa kenalan telah memberitahuku bahwa wanita itu kini jadi ibu. Posisi yang tak mungkin kutempati. Dua bulan bakda pertarungan retorikaku dan ia yang bermuara pada pemberian izinku, suamiku belum juga memenuhi janji di rumah Dina di pagi yang aneh itu. Yah! pagi yang aneh di kala firasatku yakin ini pasti terjadi. Dan pikiran anehku kembali berkata “Ia tak akan mungkin meninggalkan wanita yang mencatut namanya di pangkal nama anak itu dan kembali padaku, wanita yang tidak pernah akan memberinya bahagia itu”.


***


Kala mengunjungi Malang di depan kampus putih dalam imaji.

Makassar, November 2009