Saturday, May 30, 2009

Dua Cintaku


SEBENTUK UNGKAPAN CINTA UNTUK DUA ORANG YANG SANGAT KUCINTAI DI NEGERI REMPAH-REMPAH, TIDORE.

Oleh : Aida_Radar

Ibu,

Entah dengan bahasa apa lagi aku mendeskripsikanmu. Entah dengan rangkaian kata bagaimana lagi aku menggambarkanmu. Entah dengan susunan huruf apa lagi aku menjelaskan tentangmu. Entah berapa kali aku menggunakan kata awalan ini untuk menunjukkan kekagumanku akan engkau.

Ibu,

Malam itu tiba-tiba mataku digenangi kaca-kaca bening. Bukan hanya menggenangi malah, tapi telah tumpah. Entah sudah berapa liter air itu mengalir deras di wajahku. Engkau mau tahu mengapa ibu?

Bagaimana aku tidak berlinang airmata jika aku merasakan betapa besar cintamu pada buah hatimu ini. Lihatlah ibu, aku sedang menyantap roti isi kenari dan kue apang dengan lahapnya. Pandangilah ibu, aku sementara menikmati ikan golode dan nyao magi dengan nikmatnya. Tataplah ibu, aku sekarang makan nasi dengan dabu-dabu manta yang cabe dan jeruknyanya engkau petik dari kebun kecil di belakang rumah, dengan sedapnya. Mari perhatikan aku memasukkan dalam mulut, kiriman makanan yang engkau masak tadi malam, yang kemudian pagi harinya engkau membawa kardus kiriman itu ke rumah kenalanmu yang akan menerbangkan masakan buatanmu padaku di negeri rantau. Kiriman yang datang hari ini sesungguhnya hanyalah satu dari puluhan kiriman yang engkau kirimkan padaku selama dua tahun aku hidup di rantauan. Sungguh aku tidak tahu bagaimana membalas kebaikanmu ibu. Hanya Allah SWT lah yang dapat membalas keikhlasanmu berbakti pada keluarga. Amin.

Ah… ibu. Tahukah engkau bahwa hal yang ingin aku lakukan sekarang ialah membenamkan kepalaku di pangkuanmu dan merasakan tangan hangatmu mengelus-elus kepalaku penuh sayang. Hal yang paling aku rindukan ketika menemanimu membuat pesanan kue hingga larut malam. Dan kita berbicang-bincang sampai aku ketiduran di meja makan . Hal yang paling aku ingat ketika engkau memarahiku karena aku mencuci baju dengan cara menginjak-injaknya dengan kakiku sampai baskom hampir pecah. Hal yang paling aku ingin ulangi ialah mendengar kritikanmu atas masakan pertamaku yang hancur rasanya. He…he…6x.

Aku ingin memelukmu ibu. Ingin sekali. Maka untuk mewujudkan keinganku itu, aku harus bersabar. Iya… bersabar. Semoga di bulan suci Ramadhan nanti aku bisa merangkulmu. Dan aku, engkau, ayah, dan adik bisa duduk bersama di meja makan menikmati masakanmu yang engkau buat untuk menu sahur kami dalam menjalankan ibadah puasa. Amin. Insya Allah.

Ayah,

Entah dengan bahasa apa lagi aku mendeskripsikanmu. Entah dengan rangkaian kata bagaimana lagi aku menggambarkanmu. Entah dengan susunan huruf apa lagi aku menjelaskan tentangmu. Entah berapa kali aku menggunakan kata awalan ini untuk menunjukkan kekagumanku akan engkau.

Ayah,

Hari itu tiba-tiba mataku digenangi kaca-kaca bening. Bukan hanya menggenangi malah, tapi telah tumpah. Entah sudah berapa liter air itu mengalir deras di wajahku. Engkau mau tahu mengapa yah?

Bagaimana aku tidak berlinang airmata jika aku merasakan betapa besar cintamu pada buah hatimu ini. Lihatlah ayah, aku sedang membeli buku yang sudah lama aku inginkan dengan senangnya. Pandangilah ayah, aku sementara membayar biaya kuliahku untuk memperlancar cita-citaku. Tataplah ayah, aku sekarang sedang membawa belanjaan kebutuhanku selama sebulan dengan beratnya. Mari perhatikan aku mengambil rupiah-rupiah yang engkau kirimkan pagi tadi, yang engkau kirimkan padaku setelah semalam aku memberi tahu biaya hidupku yang hampir habis.

Keesokan paginya, sebelum menjalankan tugasmu di sekolah, engkau mampir sebentar di sebuah tempat bernama bank dan menitipkan beberapa lembar kertas biru yang ada gambar pahlawannya, agar mereka mentransfer ke rekeningku yang kini berada di negeri rantau. Lalu engkau akan menelponku dan menyuruhku mengecek isi rekeningku. Oh… Ayah, Kiriman yang datang hari ini sesungguhnya hanyalah satu dari beberapa kali kiriman yang engkau kirimkan padaku selama dua tahun aku hidup di rantauan. Sungguh aku tidak tahu bagaimana membalas kebaikanmu ibu. Hanya Allah SWT lah yang dapat membalas keikhlasanmu berbakti pada keluarga. Amin.

Ah… Ayah. Tahukah engkau bahwa hal yang ingin aku lakukan sekarang ialah duduk bersama denganmu di depan rumah dan mendengar nasehat-nasehatmu tentang kehidupan islami. Hal yang paling aku rindukan ketika menemanimu mengetik tugas kampus untuk merampungkan kuliah pasca sarjanamu hingga larut malam. Dan kita berbicang-bincang sampai aku ketiduran di meja kerjamu . Hal yang paling aku ingat ialah ketika aku masih duduk di bangku eSDe, engkau berdiri di tepi pantai dan mengancung-ancungkan sebuah rotan padaku dan adik yang mandi di air laut sampai maghrib tiba. Hal yang paling aku ingin ulangi ialah mendengar engkau memperbaiki bacaan Al-Qur’an-ku ketika aku salah melafadzkannya.

Aku ingin mencium punggung tanganmu sehabis shalat, seperti ketika aku masih tinggal di rumah dua tahun lalu. Ingin sekali Yah! Maka untuk mewujudkan keinganku itu, aku harus bersabar. Iya… bersabar. Semoga di bulan suci Ramadhan nanti aku bisa mencium punggung tanganmu dengan takzim dan penuh hormat. Dan aku, engkau, ibu, dan adik shalat berjamaah bersama di ruang shalat yang ada di rumah dan kita berdoa bersama agar puasa kita sekeluarga diridhai oleh Nya. Amin. Insya Allah.

***

Makassar, 27 Mei 2009

Pukul 14.36 WITA

Di siang mendung yang menggerimiskan hati

karena mengingat mereka, Pa’ dan Mamaku tercinta.


Syukur..........


Alhamdulillah Ya Allah


Syukur Alhamdulillah, Syukur pada Allah atas segala nikmat yang diberikan pada hamba-hambanya. “Maka nikmat Tuhan-mu yang manakah yang kamu dustakan? Maha suci nama Tuhan-mu Pemilik keagungan dan kemuliaan.” (Q.S Ar-Rahman 55 : 77-78)

Rasa senang dan bahagia sekaligus haru menyelimutiku malam itu. Rabu, 27 Mei 2009. Dari ujung michrophone, namaku dibaca. Pemenang Lomba menulis Cerita PEndek (Cerpen) tingkat mahasiswa pada Festival Seni dan Sastra, Himpunan Mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Muhammadiyah Makassar. Juara tiga Ummu Syahidah A.R Badar, Juara dua……….

Sungguh jantungku berdetak cepat kala namaku disebut. Alhamdulillah, perjuanganku memeras otak dan menulis manual di empat halaman kertas folio bergaris hingga tangan capek luar biasa, menuai hasil yang baik. Walau “Bocah-bocah Jalangkote” berada di posisi ke-3, tapi momen itulah pertama kali aku memenangkan suatu event yang benar-benar aku cintai, yaitu Dunia Menulis.

Setidaknya angka tiga itu menjadi pijakan awalku menghasilkan karya untuk Tuhan dan Agamaku, Allah SWT dan Islam. Semoga dengan kemenangan yang diraih, dapat menjadi motivasi bagiku untuk berkarya lebih baik lagi dan dengan berlandaskan pada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Amin Ya Allah. Kabulkan Ya Allah…

“Maka nikmat Tuhan-mu yang manakah yang kamu dustakan? Maha suci nama Tuhan-mu Pemilik keagungan dan kemuliaan.” (Q.S Ar-Rahman 55 : 77-78).

Aida_Radar


Friday, May 29, 2009

ANAK-ANAK JALANGKOTE

BOCAH-BOCAH JALANGKOTE

Oleh : Aida Radar*


Makassar dipayungi mendung hari ini. Kedatangannya yang tak pada waktunya timbulkan tanya bagi segelintir orang. Tak terkecuali aku. Bukankah bulan ini yang seharusnya menemani masyarakat kota Daeng adalah sinar sang mentari? Bukankah awan hitam yang berarakan di atas sana telah berakhir bulan lalu? Tapi mengapa ia masih menampakkan dirinya hari ini? seolah tidak rela berikan kesempatan langit biru jalankan tugasnya.

Alam memang telah berubah sekarang. Sulit ditafsirkan kapan musim-musim akan berlangsung. Para petani saja yang dulunya pandai menghitung musim, kini angkat tangan dengan perubahan alam tersebut. Sepertinya kerusakan bumi sudah semakin parah saja.

Tapi untunglah mendung itu tidak mempengaruhiku. Justru sebaliknya. Suasana hatiku sangat dan sangat cerah. Secerah mentari yang bersinar indah kemarin. Kamu tahu kenapa? Yang jelasnya kamu tidak tahu. Karena aku belum pernah memberitahu siapapun tentang hal ini. jadi otomatis hanya aku saja yang tahu.

Aku baru saja menerima telepon dari redaktur kolom “Budaya” di Koran lokal di kota ini . Ia memintaku ke kantor redaksi untuk mengambil honor tulisanku yang nangkring di kolom kelolaannya seminggu lalu. Maka tak terbayanglah bahagia yang kurasa. Itu tulisan pertamaku yang dimuat di media. Dan aku akan menerima honor pertamaku setelah berulang-ulang kali mengalami penolakan. Bayang-bayang tiga judul buku yang kusimpan dalam folder “Wanted Books” di handphone-ku menari-nari minta segera dipindahkan dari rak toko buku ke lemari buku di kamarku.

***

Dalam perjalanan ke kampus, aku tak henti-hentinya menyungging senyum. Amplop putih di dalam tas yang kuterima tadi terus menjadi alasan mengapa mulut ini tak juga berhenti melengkung. Pulang dari kampus nanti, aku berencana menyambangi toko buku andalan. Aku akan membeli tiga buku yang kutargetkan itu.

Kuliahku dimulai jam empat. Jarum pendek di arlojiku menunjuk angka mendekati empat dan jarum panjangnya di angka sembilan. Lima belas menit lagi aku harus sudah berada di kelas. Sementara perutku sudah keroncongan minta diisi. Dari pagi memang belum ada makanan masuk dalam perutku saking bahagianya aku hari ini.

Karena belum ada sms dari temanku yang kuminta mengabari jika dosen sudah ada di kelas, aku lalu menuju kantin untuk menghilangkan keroncongan yang sedari tadi berbunyi. Tapi malang. Semua makanan yang dijual telah habis.

Dengan langkah sempoyongan, aku berjalan ke kelas. Tiba-tiba aku melihat dua penjual jalangkote.

“Ah… ini dia. Tak ada nasi, jalangkote pun berguna,” ujarku semangat. “Jalkot….! Jalkot…!” panggilku pada penjual jalangkot.

Dua penjual jalangkote yang kelihatan masih duduk di bangku eSDe yang berjalan berdekatan, sontak berbalik kearahku. Kemudian tanpa aba-aba, mereka berdua berlarian menuju padaku. Penjual yang satunya menenteng keranjang biru. Sementara yang satunya lagi membawa keranjang hijau. Keduanya juga membawa saus dalam botol bekas air mineral, khas jalangkote.

Kedua bocah itu berkejaran ke arahku sambil senggol menyenggol satu sama lain.. Satu meter dariku, anak yang membawa keranjang hijau jatuh. Anak yang membawa keranjang biru tidak mempedulikannya dan tetap berlari menuju padaku.

“Jalangkote kak,” kata bocah keranjang biru begitu berdiri di depanku.

Aku melihat isi keranjangnya. Masih lumayan banyak jalangkote di dalam. Aku hendak mengambil satu jalangkote ketika bocah keranjang hijau yang tadi jatuh berteriak.

“Woi! Kurang ajar kamu ya!. Kakak ini tadi memanggil saya bukan kamu. Kenapa kamu mengambil pelangganku.” Bocah keranjang hijau memprotes anak keranjang biru.

“Apa kamu bilang?!. Kakak ini tadi memanggil saya. Bukannya kamu yang hendak menyerobot pelanggan saya? Untung saya lebih cepat.”

“Jelas-jelas saya yang dipanggil tadi.”

“saya!”

“saya!”

“saya!”

“Stop!. Kalian apa-apaan sih! Jualan itu harus sportif dong. Eh… kalian malah berkelahi masalah pelanggan. Kalau rezeki juga tidak akan kemana. Bernafsu banget sih kalian.”

Aku mulai marah melihat tingkah kedua bocah penjual jangkote ini. aku bahkan kehilangan nafsu makan sekarang. Keduanya kaget mendengar bentakanku. Mereka lalu berhenti adu mulut. Keduanya tertunduk.

“Isi keranjang saya masih banyak. Dari tadi pagi belum banyak yang laku. Jika sampai malam tidak laku juga, saya tidak akan bisa membawa uang untuk ibu yang sakit-sakitan di rumah. Saya dan ibu hidup sendiri. Ayah sudah lama meninggal. Makanya saya berusaha agar jalangkote ini cepat habis. Bagaimanapun caranya. Kepulan asap di dapur besok tergantung pada usaha saya hari ini. Jadi kalau jalangkote ini tidak habis, entah apa yang akan saya dan ibu santap besok,” ujar anak keranjang hijau dengan mata berkaca.

“Kakak tidak pernah merasa seperti kami, makanya kakak bicara begitu. Tahukah kakak, kosongnya keranjang ini sangat berharga bagi kami,” lanjut anak keranjang biru seiya sekata dengan anak keranjang biru. Matanya juga berkaca.

Aku tercekat dengan penuturan mereka. Seketika amarahku reda. Berganti sendu yang hiasi wajah dan airmata yang siap tumpah. Aku merasa bersalah telah memarahi mereka. Aku tidak sadar bahwa dua bocah didepanku ini memikul tanggungjawab yang begitu besar. Aku tidak tahu bahwa tekanan ekonomilah yang membuat mereka seperti ini. aku menyesal sekali. Aku harus minta maaf.

“Maafkan kakak ya. Kakak tidak tahu jika kalian punya tanggung jawab yang sangat besar terhadap keluarga kalian.”

Keduanya menganggukkan kepala. Tiba-tiba aku punya ide.

“Ayo! Sini ikut kakak,” aku kemudian menarik tangan keduanya.

“Ke mana kak?”

“Iya ke mana? Kami harus jualan lagi.”

Aku tersenyum dengan kebingungan mereka. “Nanti kalian juga tahu.”

Aku masuk di dalam satu kelas yang banyak orangnya. Ini kelasku. Belum ada dosen disana. Kemudian aku berdiri di depan kelas dan mengetuk meja dengan keras. Dua anak penjual jalangkote berdiri di sampingku.

“Mohon perhatiannya teman-teman! Saya punya kabar gembira. Hari ini saya baru saja dapat banyak rezeki. Jadi saya traktir semuanya makan jalangkote di dua keranjang ini sampai habis.”

Tepukan riuh terdengar. setelah tepukan reda, semua teman-temanku yang kira-kira berjumlah empat puluh di kelas ini, berhamburan menuju ke kedua penjual jalangkote. Kedua bocah itu pun kelabakan menghadapi permintaan yang datang bertubi-tubi. Kelas terlihat layaknya pasar. Ribut dan ramai.

Sekonyong-konyong pintu kelas diketuk seseorang. Itu dosenku yang akan mengajar di kelas ini.

“Ada apa ini?! ini kelas atau pasar? Ribut sekali. Kenapa juga ada penjual jalangkote di dalam ruangan kuliah saya? Ada yang bisa jelaskan pada saya semua keributan ini?”

Teman-teman yang sibuk mengisi jalangkote, sejenak menghentikan kegiatannya dan dengan pelan menuju tempat duduk masing-masing.

Semua mata teman-teman memandang ke arahku. Tak terkecuali dua bocah penjual jalangkote. Mereka seakan-akan memintaku menjelaskan apa yang terjadi. Aku paham arti tatapan itu. Maka aku lalu mendekati dosenku.

“Bisa saya bicara sebentar pak. Saya yang akan menjelaskan semua ini.”

“Cepat jelaskan.”

Aku kemudian menceritakan semua yang terjadi. Mulai dari rasa laparku hingga pertengkaran kedua bocah penjual jalangkote. Juga tentang ideku yang mentraktir teman-teman agar dapat membantu menghabiskan jalangkote keduanya yang cukup banyak.

Dosenku mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia mengerti dan mengizinkanku melanjutkan acaraku mentraktir teman-teman sekelas. Ia pun meninggalkan kelas, tidak jadi mengajar dan akan masuk minggu depan.

Teman-teman bersorak gembira. Jalangkote yang sempat mereka simpan tadi, kini kembali masuk dalam mulut. Tidak sampai setengah jam, isi keranjang kedua bocah itu telah ludes. Kosong sama sekali.

Dua bocah itu memandangiku senang. Aku mendekati mereka dan memberi dua puluh lima ribu pada setiap bocah. Aku memberi uang lebih dari jumlah yang harus aku bayar. Seharusnya aku cukup membayar sepuluh ribu lebih per orang. Keduanya hendak memberikan kembaliannya. Tapi aku menolak.

“Itu hadiah untuk kalian. Hadiah bagi anak-anak rajin, pekerja keras, dan penuh tanggung jawab seperti kalian. Kalian layak mendapatkannya”

Mereka berdua tersenyum dan mengucapkan terima kasih berulang-ulang kali. Lalu, mereka pamit. Mereka keluar kelas bersama sambil berangkulan.

Air bening menggenangi wajahku ketika melihat mereka. Hari ini aku merasa sangat berbahagia. Melebihi rasa bahagia ketika menerima honor pagi tadi. Aku melihat isi dompet. Masih tersisa dua puluh lima ribu di dalam. Walau tidak berhasil membeli tiga buku yang telah kutargetkan, aku tidak kecewa. Justru Aku merasa sangat senang karena honor pertamaku yang berbuah senyumku hari ini juga dipanen dua bocah jalangkote itu.

***

Makassar, 25 Mei 2009

Pukul 19.21 WITA

Direvisi 26 Mei 2009

Pukul 13.00 WITA

*Anggota Forum Lingkar Pena (FLP) SulSel



Saturday, May 23, 2009

Celoteh Sunset

RINAI-RINAI SILUET

Oleh : Aida Rahman Badar

Lihatlah sore ini. Ada keindahan terpancar jelas di depan mata. Indah… begitu menarik bagi hati yang sedang dirundung duka.

Lihatlah… warna keemasannya menerpa wajah-wajah kalut bingung. Kemudian siluet-siluet petang itu coba melawan rinai-rinai air langit. Kuningnya yang berubah jingga menyeruak di antara egoisme rintik-rintik yang mulai menyentuh tanah.

Kini debu-debu sisa kekeringan siang tadi beterbangan mencari selamat. Tapi ia tak akan berhasil. Aromanya telah terlanjur menyesaki rongga-rongga pejalan kaki. Ia basah. Walau enggan memberikan tempat bagi genangan, toh disediakan juga wadah untuknya. Ia tak dapat berkutik. Semuanya telah diatur. Tidak boleh ada penolakan. Ia harus terima.

Sampai detik ini, pemberat awan itu masih berjatuhan. Dari tetesan-tetesan biasa hingga mengaburkan pandangan. Tapi lihatlah… dia, sang senja. Dia masih bertahan pada posisinya. Seakan tak mau kalah dari hujan yang begitu agresif berusaha mendepaknya jauh. Ia masih mau kukuh. Ia masih ingin menampakkan kecantikannya yang menyilaukan. Sekali lagi ia terus mencoba. Lagi dan lagi.

Namun permainan telah berakhir. Warna pantulan mentari itu urungkan niat tuk tetap mendeskripsikan diri. Toh… waktunya masih lumayan panjang juga.

Perlahan-lahan lukisan alam berganti rupa. Kanvas hitam menguasai semesta kembali. Menghapus kisah-kisah yang sempat mengundang tawa di ukiran senja tadi. Semua punya pengganti.

Astaga..! tidak semua?! Lihatlah… ada rinai-rinai bening dingin yang setia berurai. Oh tidak! Dia masih begitu kuat melawan. Rupanya semakin agresif saja dia beraksi. Padahal ia telah lama diganti. Lama sekali. Tapi sampai hari ini ia terus saja mencaploki posisi mentari.

Namun pastinya ia tak akan lama bertahan. Tempat itu bukanlah miliknya. Ia pasti akan terseret nanti. Yah… itu pasti terjadi. Karena, semua punya aturannya.

***

Makassar, 18 Mei 2009

Pukul 18.10 WITA


Sunday, May 17, 2009

Pada suatu kesempatan tiba-tiba sesuatu yang menarik tentang wa

PEKERJAAN TERBAIK BAGI WANITA DI DUNIA


Oleh : Ummu Syahidah A.R Badar*


Pada suatu kesempatan tiba-tiba sesuatu yang menarik tentang wanita muncul dalam benak saya. Secara alami (tanpa dipaksakan) terjadi percakapan dalam kepala saya mengenai wacana itu.

“Apa pekerjaanmu sekarang?” Tanya seorang wanita pada teman lamanya yang juga wanita.

“Pekerjaanku adalah pekerjaan paling terbaik yang pernah ada di dunia ini. Saya seorang wanita karir” jawab temannya.

“Wanita karir? Memang tak bisa diragukan. Dari masa kuliah dulu kamu memang yang menonjol di antara yang lainnya. Apalagi gelar Master juga berhasil kamu gaet. Hebat kamu. Di perusahaan apa kamu berkarir?”

“Saya seorang General Manager di perusahaan keluarga. Saya menjadi pelaksana umum segala perkataan dan perintah direktur. Tentu saja jika perkataan dan perintahnya tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip perusahaan. Dan saya juga membawahi anak-anak perusahaan yang mulai berkembang.”

“Wah! Berarti kamu pasti sangat sibuk. Boleh kapan-kapan saya jalan-jalan ke tempat kerjamu?”

Tafadhal, pintu perusahaan akan selalu terbuka untukmu teman.”

Kedua teman lama itu kemudian berpisah.

Beberapa hari kemudian teman sang wanita karir mengunjungi perusahaannya. Temannya itu berdiri di depan perusahaan temannya dengan ekspresi bingung. Ia berulang kali mengecek alamat yang temannya berikan padanya.

“Tidak salah lagi, ini memang alamatnya,” wanita itu bergantian melihat tulisan alamat dengan nomor bangunan di depannya.

“Kok perusahaannya bisa di kompleks perumahan? Industri rumah tangga barangkali? Tapi kenapa rumah ini sunyi sekali? Tidak ada aktivitas perekonomian yang nampak?” wanita itu terus saja kebingungan.

“Ah…aku masuk saja deh. Mungkin aku akan menemukan jawabannya di dalam.”

Ia lalu berjalan mendekati bangunan yang sedari tadi ia perhatikan.

“Assalamu’alaikum,” ujar wanita itu.

“Waalaikumsalam.” Seseorang terdengar menyahut dari dalam rumah.

Klek! Pintu terbuka. Seorang wanita muncul dengan wajah berpeluh. Wanita itu memakai baju rumah panjang dan jilbab kaos yang basah terkena peluh di wajahnya. Ia lah teman wanita itu, sang wanita karir. Sebuah senyuman menghiasi wajahnya di antara peluh.

“Wah… temanku, ayo masuk. Silahkan duduk.”

Wanita itu masuk dan kemudian duduk. Karena tidak bisa lagi menahan rasa ingin tahunya dan karena ia perlu menjawab semua pertanyaan yang ia buat sendiri waktu di luar, maka tanpa basa basi ia langsung menanyakannya.

“Kamu tidak kerja hari ini? Bukankah hari ini awal minggu? Biasanya kan setiap Senin orang-orang di perusahaan sangat sibuk? Kok kamu tidak ke kantor?”

Tuan rumah kembali tersenyum. Ia paham dengan kebingungan temannya.

“Saya kerja kok hari ini. Bahkan setiap hari saya bekerja. Dan saya ke kantor hari ini.”

Kebingungan temannya menjadi double. Bahkan mendekati tripple. Sang wanita karir paham akan kondisi temannya saat ini. Maka menggamit temannya. ia mengajak temannya ke belakang.

“Inilah kantor saya,” kata wanita karir menunjuk dapur, ruang makan, toilet, kamar, ruang keluarga, ruang tamu, dan beranda.

“Inilah pekerjaan General Manager,” wanita karir menggoreng, memotong lauk, menyapu, mencuci, merapikan tempat tidur, dan pekerjaan rumah lainya.

“Inilah Direktur dan anak perusahaan yang saya bawahi,” ujarnya menunjuk foto suami dan anak-anaknya di ruang keluarga.

Sang wanita karir kemudian membawa temannya keluar dan berdiri di depan rumahnya.

“Dan inilah perusahaan saya.” Ia membentangkan kedua tangannya menunjuk tempat ia berkarir. Ia kelihatan sangat bahagia.

Temannya menatapnya. Ia masih bingung. Namun beberapa saat kemudian ia lalu tersenyum pada temannya.

“Saya ingin berkarir sepertimu teman.” Kalimat itu meluncur dari mulutnya.

“Insya Allah… Kamu pasti bisa. Karir cemerlang ini akan dengan senang hati kamu lakoni tanpa beban jika kamu ikhlas karena Allah. Inilah karir terbaik seorang wanita di antara pekerjaan-pekerjaan lainnya. Karir yang hebat tanpa banyak persyaratan. Cukup Ikhlas dan Ridha melayani karena-Nya.”

***

Apa yang bisa kita (wanita) dapatkan dari sepenggal cerita di atas? Apakah apa yang saya rasakan atau pikirkan sebagai seorang wanita dapat pula kalian (para wanita) rasakan dan pikirkan? Entahlah… tapi saya yakin rasa dan pikiran kita pasti sama.

Apakah hal yang paling membahagiakan bagi wanita yang telah menyempurnakan separuh agamanya (menikah)?

Salah satu dari beberapa pertanyaan yang saya ajukan pada wanita-wanita yang telah bersuami dan memiliki anak, semuanya mengatakan jawaban yang sama. Salah seorang dari mereka mengatakan :

“Hal yang paling membahagiakan bagi saya adalah ketika menyiapkan makanan bagi suami dan anak lalu mereka tersenyum menikmati masakan saya, mencuci pakaian keluarga, membersihkan rumah dan menjaganya hingga keluarga nyaman berada di rumah, bisa menjawab pertanyaan yang diajukan anak mengenai tugas sekolahnya, dan melayani suami dengan sebaik-baiknya Sungguh saya tidak dapat mengungkapkan dengan kata-kata kebahagiaan itu. Dan saya belum dapat menemukan rasa yang sama ketika saya bekerja di luar rumah. Wanita yang telah menikah pasti pernah merasakannya.”

Penjelasan di atas sebagaimana hadits Rasulullah SAW :

Setiap kalian adalah seorang penanggung jawab. Masing-masing akan dimintai pertanggungjawaban atas orang-orang diasuhnya. Seorang suami adalah penanggungjawab. Dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas orang-orang yang diasuhnya. Istri itu penjaga rumah suami dan anaknya, serta ia bertanggungjawab atas semuanya.” (HR Ahmad, Bukhari, dan Muslim).

Maka, perbuatan terbaik apa yang dapat dipertangungjawabkan seorang wanita di pengadilan Allah kelak selain membahagiakan suami dan anaknya? Dan pekerjaan lain apakah yang paling baik di dunia ini selain menjadi Isteri yang meletakkan suami sebagai imam dalam rumah tangga dan sebagai ibu yang mendidik anak-anaknya dengan ilmu Agama? Berikan bukti nyata bila ada. Namun saya cukup yakin belum ada. dan mungkin tidak akan ada. Wallahualam.


(Untuk dua Idola tercinta di Tidore, Kalianlah inspirasiku)

***


Friday, May 08, 2009

Pembicaraan Rasulullah SAW Dengan Iblis

PEMBICARAAN RASULULLAH SAW DENGAN IBLIS



Telah diceritakan bahwa Allah S.W.T telah menyuruh iblis datang kepada Nabi Muhammad s.a.w agar menjawab segala pertanyaan yang baginda tanyakan padanya. Pada suatu hari Iblis pun datang kepada baginda dengan menyerupai orang tua yang baik lagi bersih, sedang ditangannya memegang tongkat.

Bertanya Rasulullah s.a.w, "Siapakah kamu ini ?"

Orang tua itu menjawab, "Aku adalah iblis."

"Apa maksud kamu datang berjumpa aku ?"

Orang tua itu menjawab, "Allah menyuruhku datang kepadamu agar kau bertanya kepadaku."

Baginda Rasulullah s.a.w lalu bertanya, "Hai iblis, berapa banyakkah musuhmu dari kalangan umat-umatku ?"

Iblis menjawab, "Lima belas."

  1. Engkau sendiri hai Muhammad.

  2. Imam dan pemimpin yang adil.

  3. Orang kaya yang merendah diri.

  4. Pedagang yang jujur dan amanah.

  5. Orang alim yang mengerjakan solat dengan khusyuk.

  6. Orang Mukmin yang memberi nasihat.

  7. Orang yang Mukmin yang berkasih-sayang.

  8. Orang yang tetap dan cepat bertaubat.

  9. Orang yang menjauhkan diri dari segala yang haram.

  10. Orang Mukmin yang selalu dalam keadaan suci.

  11. Orang Mukmin yang banyak bersedekah dan berderma.

  12. Orang Mukmin yang baik budi dan akhlaknya.

  13. Orang Mukmin yang bermanfaat kepada orang.

  14. Orang yang hafal al-Qur'an serta selalu membacanya.

  15. Orang yang berdiri melakukan solat di waktu malam sedang orang-orang lain semuanya tidur.


Kemudian Rasulullah s.a.w bertanya lagi, "Berapa banyakkah temanmu di kalangan umatku ?"

Jawab iblis, "Sepuluh golongan :

  1. Hakim yang tidak adil.

  2. Orang kaya yang sombong.

  3. Pedagang yang khianat.

  4. Orang pemabuk/peminum arak.

  5. Orang yang memutuskan tali persaudaraan.

  6. Pemilik harta riba'.

  7. Pemakan harta anak yatim.

  8. Orang yang selalu lengah dalam mengerjakan solat/sering meninggalkan solat.

  9. Orang yang enggan memberikan zakat/kedekut.

  10. Orang yang selalu berangan-angan dan khayal dengan tidak ada faedah.

Mereka semua itu adalah sahabat-sahabatku yang setia."

Itulah di antara pembicaraan Nabi dan iblis. Sememangnya kita maklum bahwa sesungguhnya Iblis itu adalah musuh Allah dan manusia. Dari itu hendaklah kita selalu berhati-hati jangan sampai kita menjadi kawan iblis, karena siapa yang menjadi kawan iblis bermakna menjadi musuh Allah. Demikianlah sebaliknya, siapa yang menjadi musuh iblis berarti menjadi kawan kekasih Allah.


Source : 1001 KISAH TELADAN, FILE CREATED BY HEKSA

( DARI KISAH-KISAL ISLAMI PEMBERIAN SEORANG KAKAK)

CONTINUED BY AIDA_RADAR


Sekedar Berpendapat


UJIAN NASIONAL DAN PENENTUAN STANDARISASI KELULUSAN YANG TINGGI ; EVALUASI BELAJAR YANG KELIRU


Oleh : Ummu Syahidah A.R Badar*

Ujian Nasional (UN) 2009 untuk siswa Sekolah Menengah Atas dan Sekolah Menengah Pertama digelar April ini. Pelaksanaan Ujian merupakan bentuk evaluasi untuk menyatakan lolos atau tidaknya anak didik menuju tingkatan pendidikan yang lebih tinggi.
Dinas Pendidikan Nasional (Diknas) melalui Badan Standarisasi Nasional Pendidikan (BSNP) menentukan angka 5,50 sebagai Standar Kelulusan (SK) untuk mengevaluasi pantas tidaknya seorang anak didik menuju ke jenjang pendidikan selanjutnya.
Angka standar kelulusan tahun ini merupakan penambahan 0,25 dari strandar kelulusan 2008 lalu yaitu 5,25. Dan Pemerintah berencana akan menaikan strandar kelulusan ini setiap tahunnya. Kebijakan pemerintah itu menuai protes dari berbagai pihak. Ada yang pro dan kontra terhadapnya.
Tingginya SK membuat para anak didik yang menempuh Ujian dihinggapi rasa takut, tegang dan tentu saja protes menghadapinya. Takut dan tegang karena tidak yakin bisa mencapai SK. Protes karena Seakan-akan masa depan mereka ditentukan hanya dalam beberapa hari saja, sementara mereka telah menjalani proses belajar mengajar selama tiga tahun lamanya.

Evaluasi Belajar dan Mutu Pendidikan
Ujian Nasional adalah bentuk Evaluasi yang menilai aspek-aspek yang telah ditentukan dalam proses belajar. Karena merupakan suatu evaluasi berarti UN harus memperhatikan aspek-aspek sasaran apa saja yang dinilai dan siapa yang menilai. Aspek-aspek yang dijadikan penilaian adalah Afektif, kognitif dan psikomotorik. Dan tentu saja yang dinilai adalah anak didik, sedangkan yang menilai adalah guru sebagai pengajar bagi anak didik tersebut.
Seperti yang diungkapkan Davies (1986), ranah tujuan pendidikan berdasarkan hasil belajar siswa secara umum dapat diklasifikasikan menjadi, yakni : ranah kognitif, ranah afektif, dan ranah psikomotorik.
Selain itu, Syaiful Bahri Djamarah dalam bukunya Guru dan Anak Didik Dalam Interaksi Edukatif (Rineka Cipta, 2005) mengemukakan “Evaluasi adalah suatu tindakan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang arif dan bijaksana untuk menentukan nilai sesuatu, baik secara kualitatif maupun secara kuantitatif.”
Maka UN yang merupakan suatu proses evaluasi belajar anak didik selama tiga tahun dalam suatu institusi pendidikan, diharuskan memperhatikan kualitas dan kuantitas anak didiknya. Kualitas dan kuantitas yang dimaksud telah tertuang dalam ranah tujuan pendidikan yang diungkapkan Davies.
Namun Ujian Nasional yang dilaksanakan selama ini dinilai tidak menyentuh secara keseluruhan kualitas dan kuantitas anak didiknya. Mengapa? karena Ujian Nasional yang telah dilaksanakan selama ini hanya menilai kemampuan afektif anak didik, sementara kemampuan kognitif dan psikomotoriknya diabaikan.
Jadi Ujian Nasional yang hanya menilai salah satu aspek dari dua aspek lain dapat dikatakan tidak menilai kualitas dan kuantitas anak didik melainkan hanya menilai kebolehan anak didik memperoleh nilai sesuai dengan strandar yang ditentukan.
Selain itu, dalam Ujian Nasional, yang menilai keberhasilan anak didik dalam proses belajar mengajar bukanlah gurunya anak didik tersebut, melainkan oleh orang-orang yang berada di pusat. Padahal proses evaluasi seharusnya dilakukan oleh guru yang mengajari anak didiknya, karena guru tersebut lebih mengetahuai kualitas dan kuantitas anak didiknya selama mengajar dari kelas satu sampai kelas tiga daripada para penentu kelulusan yang berada di pusat sana.
Mereka, tim penilai ujian nasional yang berada di pusat sana, yang tidak pernah berinteraksi langsung dengan anak didik yang mengikuti ujian, malahan bertindak sebagai penentu nasib anak didik yang tidak pernah mereka ketahui kemampuannya. Mereka hanya menilai kemampuan anak didik dari selembar kertas Lembaran Kerja Komputer (LJK). Jadi bagaimana mereka dapat menilai pantas atau tidaknya anak didik lolos ke jenjang berikutnya?
Pertanyaan yang membutuhkan penjelasan kuat bahwasanya sistem UN seperti ini yang baik dan pantas terus dipakai dalam mengevaluasi anak didik.
Tapi, belum lagi mendapatkan penjelasan, pelaku pendidikan dibebani lagi dengan kenaikan standar kelulusan setiap tahunnya. Seperti yang telah diumukan oleh BSNP, tahun 2009 ini standar kelulusan minimum yang harus dicapai anak didik agar bisa lolos ujian adalah 5,50. Angka yang dirasa cukup tinggi bagi anak didik untuk dicapai.
Ditambah lagi, mata pelajaran yang diujikan tidak hanya tiga seperti sebelum-sebelumnya, melainkan enam mata pelajaran. Maka Bayangkanlah beban yang dipikul anak-anak peserta ujian tersebut.
Menurut Penulis standar kelulusan yang telah ditentukan tentu saja tidak sesuai dengan mutu dan kualitas pendidikan yang ada pada saat ini. Harus diakui bahwa kualitas pendidikan di Negara ini dan pada saat ini masih rendah dibandingkan Negara lain.
Education Development Index (EDI) atau Indeks Pembangunan Pendidikan pada November 2007, mengompilasi data pendidikan dari 129 negara di seluruh dunia. Indeks ini dibuat dengan membagi tiga kategori penilaian, yaitu nilai EDI tinggi, sedang, dan rendah. Indonesia termasuk yang berada pada posisi EDI rendah. (Kompas, 31/12/07)
Berdasarkan data UNESCO, Indonesia menempati peringkat 111 dalam kualitas pendidikan, atau satu peringkat lebih tinggi daripada Vietnam. Sementara itu, Malaysia berada pada peringkat 53.(Okezone.com, 11/03/08)
Dua data di atas membuktikan masih rendahnya mutu dan kualitas pendidikan Indonesia di mata dunia. Dibanding Malaysia yang dulunya berada jauh di bawah Indonesia, kita kini sangat tertinggal.

Kembali ke Sekolah dan Perbaikan Mutu
Ujian Nasional adalah bagian penting dalam proses pendidikan. Karena pentingnya Ujian Nasional, pemantapan pelaksanaannya sangat perlu untuk diperhatikan. Cara pelaksanaan Ujian Nasional yang dilakukan sebelu-sebelumnya, dinilai tidak efektif dalam menilai anak didik.
Untuk memperbaiki ke-tidakefektif-an Ujian Nasional pada saat ini, hal terbaik yang mestinya ditempuh Dinas Pendidikan Nasional adalah mengembalikan proses evaluasi ini pada sekolah. Biarkan sekolah yang menentukan anak didik mana yang bisa lolos ke jenjang selanjutnya dan yang tidak. Sebab pihak sekolah melalui guru lebih mengetahui kemampuan anak didiknya, baik secara kualitas maupun kuantitasnya daripada orang luar.
Anak didik dievaluasi oleh guru yang mendidiknya. Dan Dinas Pendidikan menjadi pengontrol bagi guru-guru yang mengevaluasi anak didiknya. Bentuk Ujian Nasional nantinya akan berjalan sistematis mulai dari anak didik ke guru, kemudian dari guru ke Dinas Pendidikan.
Sementara itu untuk standarisasi kelulusan, BSNP harus menentukannya dengan mempertimbangkan mutu dan kualitas pendidikan yang dicapai. BSNP jangan menentukan standar kelulusan yang tidak sesuai dengan mutu dan kualitas pendidikan yang ada, karena kejadian yang akan terjadi kemudian adalah pelanggaran-pelanggaran yang tidak diinginkan selama Ujian Nasional berlangsung.
Maka marilah sama-sama kita perbaiki dahulu mutu dan kualitas pendidikan di Negara ini, sebelum menentukan standar kelulusan yang tinggi dan menaikkannya setiap tahun.(***)


* Mahasiswa Pendidikan Bahasa Inggris Universitas Muhammadiyah Makassar