Friday, January 23, 2009

Penggalan Aksara Bermakna...

Bayangan


Oleh : Ummu Syahidah A.R Badar*


Senyum merekah

Dunia serasa terbelah

Berjalan mendekat dengan tenang

Diri dilanda senang

Ah…… Mimpi

Mendekap penuh mesra

Ada bahagia dalam mata

Semua tak disangka

Nyatanya ada cinta

Ah…… ilusi

Sapa hangat merasuki

Lewati dinding-dinding hati

Sederet Cinta mengaliri

Rasa segar meresapi

Ah…… khayalan

Tangan digenggam erat

Mata memandang lekat

Lengkungan indah memikat

Rangkulan terasa dekat

Ah……bayangan


Makassar, 2 November 2008

unknown time


sewaktu pikiran masih berimajinasi dan melanglang buana dilangit-langit kamar. Tiba-tiba sosok itu masuk tanpa permisi dalam otak dan membuatku menelurkan rangkaian kata-kata berjudul “bayangan” ini.


*Aktivis Forum Lingkar Pena (FLP) Wilayah Sulsel

& HIPMIN Makassar

Penggalan aksara bermakna...

Tanya


Oleh : Ummu Syahidah A.R Badar*


Aku tertatih

Merintih

Perih

Sedih

Aku mencari

Kesana dan kemari

Demi diri

Sepi ini

Dimana?

Kemana?

Apa?

Siapa?

Segala Tanya hadir

Ketika tak kunjung kutemui

Sosok yang kuharapkan hadir

Kala kuberimajinasi


Makassar, 2 November 2008

Pukul 23.45 WITA


Isi kepala ini akhirnya tertumpah dalam kertas malam ini karena mata tak bisa berkompromi dengan badan yang kecapean. Jadinya inilah yang dihasilkan ditengah kesunyian asrama putri Maluku Utara.


*Aktivis Forum Lingkar Pena (FLP) Wilayah Sulsel & HIPMIN Makassar


Tuesday, January 20, 2009



EUFORIA TAHUN BARU DAN MIMPI-MIMPI DIDALAMNYA


Oleh : Ummu Syahidah A.R Badar*


Euforia pergantian tahun menjamur diseluruh belahan dunia 31 Desember 2008. satu persatu wilayah bahkan perorangan merayakannya dalam berbagai variasinya masing-masing. Momen bergantinya angka 00.00 ke 00.01 begitu berharga dan pentingnya bagi penggila malam tahun baru itu. Walaupun sebagian kecil atau malahan sebagian besar dari mereka belum memahami apa makna dari “Happy New Year” tersebut.

Makassar, si calon metropolitan menjadi salah satu kota yang juga berjibaku dengan gala tahunan itu. Berbagai lapisan masyarakat dari berbagai penjuru berbondong-bondong menuju tempat perhelatan. Bak semut mendapatkan gula, mereka melangkah ke pantai Losari. Tempat perayaan warga kota yang tidak pernah diikrarkan, tapi diakui.

Dari jendela pete-pete ( baca ; angkot) Minasa Upa yang membawaku pulang dari kampus malam itu, kuamati sekelompok-sekelompok manusia dengan gaya masing-masing berdiri disepanjang jalan Sultan Alauddin. Sangat nampak dari dandanan mereka akan kegemerlapan malam tutup tahun beberapa jam lagi. Hujan lebat yang sempat menguasai Makassar rabu siang tadi, tidak menyurutkan niat mereka. Bahkan gerimis yang mulai turun perlahan serasa tak berarti dibandingkan gemuruh perayaan yang membuncah-buncah dalam dada mereka.

Aku bukannya manusia yang kurang terlalu tertarik dengan momen-momen semacam ini. Hanya saja, rasa capek yang menggerogoti karena padatnya jadwal kuliah hari ini menambah kemalasanku untuk menggabungkan diri. Menurutku, ada perayaan atau tidak, tahun 2008 akan tetap berganti menjadi tahun 2009. begitupun seterusnya. Apalagi jika membayangkan hujan yang menyisahkan dingin akan menyapa. Ditambah angin laut yang bertiup semilir di Losari sana, brrr….!!! Menggigil rasanya tubuh ini.

Di ujung jalan Pettarani, tepatnya didepan STIKES YAPIKA, pete-pete berhenti. Seorang bocah berumur sekitar 9 tahun naik. Bocah itu memakai topi warna merah yang nampak kedodoran karena besarnya tidak sesuai dengan kepala si empunya. Kaos biru pudar dan celana panjang hitam melekat erat pada badannya. Serta sandal jepit hijau yang sudah tipis bentuknya. Bocah itu membawa beberapa helai Koran terbungkus plastik. Aku menduga bocah ini adalah pengecer Koran. Dia duduk persis dibelakang pak supir.

Aku terus mengamati bocah itu sampai ia memperbaiki letak topinya yang menutupi wajah kecilnya. Ketika membuka topinya, ia memandang kearahku (karena hanya aku penumpang saat itu). Ia mengganggukkan kepalanya padaku, tanda menyapa tanpa suara.

Aku terdiam lama tapi masih memandang bocah tadi. Aku seperti mengingat sesuatu. Tunggu..!! aku pernah melihat bocah ini. Ujarku dalam hati. Bukan hanya pernah melihat, tapi aku mengenalnya. Yah.. aku mengenalnya. Dia adalah Acok. Tetangga sebelah pondokanku yang terpisah satu blok. Bocah itu memperbaiki lagi letak topinya. Yah… itu memang Acok. Aku yakin.

Aku lalu mendekati dan menyapanya.

“Acok kan?” tanyaku. “cucu Daeng Anwar kan?”

Ia tersenyum dan mengangguk.

“Kakak yang tinggal di pondokan Primus kan? kakak kak Gunawan kan?” ia balik bertanya padaku.

“Iya betul,” aku tersenyum. “Acok darimana jam segini? Bawa koran lagi.” Aku menunjuk surat kabar dalam genggamannya.

“Acok jadi pengecer koran diujung jalan Pettarani tadi. Mulai dari pulang sekolah sampai sore. Hari ini sampai malam karena Koran Acok masih banyak yang belum laku. Jadinya lebih dari sore.”

“Oh… terus sekarang Acok mau kemana?”

“Pulang.”

“Mengapa Acok tidak naik pete-pete IKIP saja. Kan tidak perlu oper pete-pete lagi. Kalau lewat sini kan dua kali naik pete-petenya?”

“Acok mau singgah beli jagung rebus disamping Bank BNI untuk kakek dirumah.”

“Oh…..” sekali lagi aku ber oh…oh… ria.

Kami berbincang-bincang hingga empat orang wanita bergabung ketika pete-pete melewati jalan Andi Tondro. Dari dandanan dan gaya berpakaian mereka, aku menyimpulkan mereka akan merayakan tutup tahun malam ini. Pastinya Jalan Penghibur menjadi tujuan mereka. Tawa tak hentinya keluar dari mulut mereka. Bayangan keramaian seakan terpancar jelas dari wajah mereka kala kutatap satu persatu.

Didekat jalan Haji Bau, empat wanita tadi turun. Dari percakapan mereka, aku sempat mendengar mereka akan menggunakan becak untuk mencapai Losari. Tapi menurutku rencana mereka tidak akan terlaksana. Karena setahuku lokasi sekitar pantai losari mulai dari belokan jalan Kenari hingga jalan Pattimura akan ditutup total malam ini. Sementara persimpangan dekat hotel kenari pun akan ditutup. Jadinya keempat wanita tadi dipastikan akan berjalan kaki dari jalan Haji Bau ini sampai ke pusat perayaan malam tahun baru sebagaian besar warga Makassar di jalan Penghibur, Pantai Losari.

Aku dan Acok memandangi empat wanita tadi hingga angkot bergerak. Tiba-tiba Acok bersuara.

“Ternyata pengaruh westernisasi telah banyak merubah tatanan budaya bangsa ini.”

Aku terperanjat. Aku tidak menyangka kalimat yang baru saja kudengar tadi keluar dari mulut bocah kelas tiga sekolah dasar itu. Pilihan kata yang digunakan layaknya orang dewasa berpendidikan. Aku memandangnya takjub.

Acok kembali berkutat dengan Koran dalam genggamannya. Aku mengamatinya membaca berita demi berita didalamnya. Remang-remang lampu pete-pete tidak dapat menghentikannya. Acok memang telah terbiasa membaca dalam keremangan. Dari cerita tetanggaku, aku mengetahui bahwa seusai sholat subuh, Acok tidak pernah tidur lagi. Ia selalu membaca koran-koran yang sengaja ia sisahkan satu satu setiap harinya. Dengan ditemani lampu minyak ( listrik dirumah Acok dimatikan setelah subuh), ia melahap habis semua informasi yang terkandung dalam koran-koran tersebut.

Jadi tidak mengherankan jika Acok menjadi pribadi yang cerdas. Acok ternyata mempunyai cita-cita selangit. Ia ingin menjadi seorang Diplomat ulung agar bisa memperjuangkan nilai bangsa Indonesia dimata dunia. Selain itu ia mempunyai mimpi mengelilingi dunia bersama kakeknya. Sungguh cita-cita dan mimpi luar biasa untuk anak seusianya.

Aku dan Acok turun didepan Bank BNI karebosi. Aku menemani Acok membeli jagung rebus untuk kakeknya disamping kantor Bank BNI. Waktu memilih-milih jagung, aku menangkap pandangan Acok pada terompet tahun baru warna warni yang dijajakan bersebelahan dengan penjual jagung. Dari sorot matanya, aku tahu bahwa ia menginginkan terompet itu. Tapi ia kemudian menggelengkan kepalanya. Aku paham ia tidak mau tergoda. Dan juga, aku yakin uang hasil jerih payahnya hari ini telah ia pergunakan untuk membeli oleh-oleh bagi kakeknya dirumah.

Sambil menunggu pete-pete Daya-Sudiang, aku hendak membayar jagung yang Acok belikan tapi ia menolak.

“Acok ingin memberikan oleh-oleh untuk kakek dari hasil keringat Acok sendiri kak Gun,” ujarnya polos.

Ah.. Acok betapa cepat kamu dewasa sebelum waktunya.

“Baiklah… tapi jangan menolak kakak belikan Acok terompet itu ya?” bujukku sembari menunjuk terompet yang dilihatnya tadi.

“Tidak usah kak..”

“Pokoknya tidak boleh ditolak, ok!”

“Terima Kasih kak.”

Acok menerima terompet pemberianku dengan wajah sumringah. Ia tidak henti-hentinya meniup terompet barunya selama perjalanan menuju rumah. Tiga ibu-ibu dalam pete-pete nampak terganggu. Tapi mereka tidak menegur. Mungkin mereka mengerti bahwa malam ini terompet dapat dibunyikan tanpa mendapat larangan. Sekarang aku tahu, walau secerdas apapun Acok, ia tetap bocah 9 tahun yang akan selalu merindukan permainan anak-anak seumurannya.

Jarum jam hampir mendekati angka 10 waktu aku tiba di rumah. Aku sempat singgah sebentar dirumah Acok sebelumnya. Kakek Acok sangat senang menerima oleh-oleh dari cucu kesayangannya tersebut. dari kakeknya aku mengetahui bahwa Acok adalah cucu dari anak lelakinya. Kedua orangtua Acok meninggal lima tahun lalu akibat kecelakaan. Jadi Acok diasuh oleh kakeknya. Setelah berbincang-bincang sebentar. Aku lalu pamit pulang. Acok mengantarku sampai didepan rumah.

Setelah membersihkan diri dan melaksanakan kewajibanku sebagai hamba Allah yang sempat tertunda, aku langsung bersiap tidur. Mataku terasa sangat berat. Tapi walaupun kucoba menutupnya berkali-kali, aku tak kunjung lelap. Beberapa waktu kemudian, suara gaduh tersengar jelas ditelingaku. Aku beranjak bangun dan keluar kamar. Begitu keluar aku mendapati langit Makassar terang-berderang. Berbagai warna kembang api pecah dilangit dan ditemani bunyi dentuman layaknya ledakan ranjau. Sirene yang meraung-raung entah darimana asalnya menandai berakhirnya tahun 2008.

Ah…tidak terasa telah satu tahun lebih kulalui dibumi Sang Ayam Jantan Dari Timur ini. Waktu begitu cepat berlalu. Padahal rasanya baru kemarin aku bersua dengan Ayah Bundaku di Tidore sana. Kini 2009 telah menjemputku dengan segunung rencana masa depan.

Mataku kemudian tertuju pada rumah panggung khas Makassar dua blok sebelah pondokanku. Itulah rumah yang didalamnya berlindung seorang bocah dengan mimpi-mimpinya.

Aku teringat lirik lagu bang Iwan Fals dalam salah satu albumnya “Anak sekecil itu berkelahi dengan waktu.” Aku mengumpamakan Acok sebagai anak kecil dilirik Bang Iwan itu. Acok adalah anak kecil yang selalu berkelahi dengan waktu setiap harinya. Tapi aku percaya, semangat dan mimpi-mimpinya yang dimilikinya akan menghantarkannya menjadi pemenangnya. Yah…Aku yakin!.


***

Makassar, 2 Januari 2009

14.33 WITA

*Aktivis Forum Lingkar Pena (FLP) Sulsel & HIPMIN Makassar


Bandingkan Cinta Anda Dengan Cinta-Nya!


Cinta adalah memberi, dengan segala daya dan keterbatasannya seorang pecinta akan memberikan apapun yang sekiranya bakal membuat yang dicintainya senang. Bukan balasan cinta yang diharapkan bagi seorang pecinta sejati, meski itu menjadi sesuatu yang melegakannya. Bagi pecinta sejati, senyum dan kebahagiaan yang dicintainya itulah yang menjadi tujuannya.

Cinta adalah menceriakan, seperti bunga-bunga indah di taman yang membawa kenyamanan bagi yang memandangnya. Seperti rerumputan hijau di padang luas yang kehadirannya bagai kesegaran yang menghampar. Seperti taburan pasir di pantai yang menghantarkan kehangatan seiring tiupan angin yang menawarkan kesejukkan. Dan seperti keelokan seluruh alam yang menghadirkan kekaguman terhadapnya.

Cinta adalah berkorban, bagai lilin yang setia menerangi dengan setitik nyalanya meski tubuhnya habis terbakar. Hingga titik terakhirnya, ia pun masih berusaha menerangi manusia dari kegelapan. Bagai sang Mentari, meski terkadang dikeluhkan karena sengatannya, namun senantiasa mengunjungi alam dan segenap makhluk dengan sinarannya. Seperti Bandung Bondowoso yang tak tanggung-tanggung membangunkan seluruh jin dari tidurnya dan menegakkan seribu candi untuk Lorojonggrang seorang. Sakuriang tak kalah dahsyatnya, diukirnya tanah menjadi sebuah telaga dengan perahu yang megah dalam semalam demi Dayang Sumbi terkasih yang ternyata ibu sendiri. Tajmahal yang indah di India, di setiap jengkal marmer bangunannya terpahat nama kekasih buah hati sang raja juga terbangun karena cinta. Bisa jadi, semua kisah besar dunia, berawal dari cinta.

Cinta adalah kaki-kaki yang melangkah membangun samudera kebaikan. Cinta adalah tangan-tangan yang merajut hamparan permadani kasih sayang. Cinta adalah hati yang selalu berharap dan mewujudkan dunia dan kehidupan yang lebih baik. Cinta selalu berkembang, ia seperti udara yang mengisi ruang kosong. Cinta juga seperti air yang mengalir ke dataran yang lebih rendah.

Tapi ada satu yang bisa kita sepakati bersama tentang cinta. Bahwa cinta, akan membawa sesuatu menjadi lebih baik, membawa kita untuk berbuat lebih sempurna. Mengajarkan pada kita betapa, besar kekuatan yang dihasilkannya. Cinta membuat dunia yang penat dan bising ini terasa indah, paling tidak bisa kita nikmati dengan cinta. Cinta mengajarkan pada kita, bagaimana caranya harus berlaku jujur dan berkorban, berjuang dan menerima, memberi dan mempertahankan.

Tentang Cinta itu sendiri, Rasulullah dalam sabdanya menegaskan bahwa tidak beriman seseorang sebelum Allah dan Rasul-Nya lebih dicintai daripada selain keduanya. Al Ghazali berkata: “Cinta adalah inti keberagamaan. Ia adalah awal dan juga akhir dari perjalanan kita. Kalaupun ada maqam yang harus dilewati seorang sufi sebelum cinta, maqam itu hanyalah pengantar ke arah cinta dan bila ada maqam-maqam sesudah cinta, maqam itu hanyalah akibat dari cinta saja.”

Disatu sisi Allah Sang Pencinta sejati menegaskan, jika manusia-manusia tak lagi menginginkan cinta-Nya, kelak akan didatangkan-Nya suatu kaum yang Dia mencintainya dan mereka mencintai-Nya (QS. Al Maidah:54). Maka, berangkat dari rasa saling mencintai yang demikian itu, bandingkanlah cinta yang sudah kita berikan kepada Allah dengan cinta Dia kepada kita dan semua makhluk-Nya.

Wujud cinta-Nya hingga saat ini senantiasa tercurah kepada kita, Dia melayani seluruh keperluan kita seakan-akan Dia tidak mempunyai hamba selain kita, seakan-akan tidak ada lagi hamba yang diurus kecuali kita. Dia melayani kita seakan-akan kitalah satu-satunya hamba-Nya. Sementara kita menyembah-Nya seakan-akan ada tuhan selain Dia.

Apakah balasan yang kita berikan sebagai imbalan dari Cinta yang Dia berikan? Kita membantah Allah seakan-akan ada Tuhan lain yang kepada-Nya kita bisa melarikan diri. Sehingga kalau kita “dipecat” menjadi makhluk-Nya, kita bisa pindah kepada Tuhan yang lain.

Tahukah, jika saja Dia memperhitungkan cinta-Nya dengan cinta yang kita berikan untuk kemudian menjadi pertimbangan bagi-Nya akan siapa-siapa yang tetap bersama-Nya di surga kelak, tentu semua kita akan masuk neraka. Jika Dia membalas kita dengan balasan yang setimpal, celakalah kita. Bila Allah membalas amal kita dengan keadilan-Nya, kita semua akan celaka. Jadi, sekali lagi bandingkan cinta kita dengan cinta-Nya.[]


Filed Under (Cinta) by admin on 16-06-2008

Continuer by Aida_Radar

Thursday, January 08, 2009





UNTUK SAUDARAKU YANG TERDZALIMI, PALESTINA!


Oleh : Ummu S.A.R Badar*


Zionis Keparat!!! Pencuri tak tahu adat!!! Penyusup tak tahu malu!!! Israel Jahanam!!!

Mungkin itu hanya segelintir serapah yang berasal dari saudara-saudara kita yang tertindas di jalur Gaza sana. Ralat, bukan hanya berasal dari mereka, bahkan dari seluruh manusia dunia. Mereka yang tetap menimbulkan penderitaan bagi rakyat Palestina bukanlah manusia. Mereka tidak pantas, malahan sangat sangat tidak pantas menyandang nama MANUSIA. Karena manusia tidak akan mendzalimi manusia lainnya. Mereka, para penjajah Zionis itu lebih pantas disebut sebagai BINATANG, Gorilla tepatnya.

Tidak ada yang heran dengan serapah itu, karena pengikut Ariel Sharon tolol itu pantas mendapatkannya. Eh,,, bukan hanya pantas. Tapi sangat sangat pantas.

Bocah-bocah meringkuk dalam dekapan orangtuanya. Itupun jika mereka masih memiliki orangtua. Wanita-wanita berwajah sendu, memikirkan nasib kehidupan yang sebentar lagi akan dirampas dari urat nadi. Lansia-lansia duduk tepekur dalam diam, menanti hilangnya suara-suara gemuruh yang menghantarkan mereka tutup usia lebih awal. Pemuda-pemuda berteriak garang, maju digaris depan, menghalangi pencuri yang hendak mencaploki tanah kelahiran.

Gaza City berubah hitam. Pekat. Berbagai penerangan diputuskan.Yang nampak hanya kabut-kabut pekat membumbungi angkasa. Bangunan-bangunan bertingkat luluh lantak sejajar tanah. Debu-debu beterbangan aroma mesiu. Kota hiruk-pikuk. Pemilik sah tanah itu berlarian tak tentu arah untuk selamatkan nyawa. Deru misil-misil dari F-16 tolol menyiutkan nyali pendengarnya. Psikologi Anak-anak Yasser Arafat terguncang hebat. tapi mereka pasti tak kan pernah mundur. Perlawanan terhadap Israel Raya tetap dilancarkan. Karena mereka percaya, Surga Firdaus telah menunggu jiwa-jiwa yang syahid. Jihad Fi Sabilillah!

Ternyata pencuri keparat itu mempunyai niat jahat terselubung. Mengucilkan warga Gaza dari mata dunia. Menyekap mereka dalam rumah sendiri. Bahkan menutup jalan bantuan yang datang dari manusia-manusia peduli. Tak ada kata yang terlontar, selain Betapa tak tahu malu-nya Gorilla Israel.

Dimana para pengusung HAK ASASI MANUSIA?????? Mereka-mereka yang meneriaki hak kemerdekaan suatu individu. Bungkam! Yah,,, mereka diam, seakan sepi dari teori-teori yang dibuat sendiri. Bahkan negeri asal pembela Hak Asasi manusia, Amerika tak menunjukkan reaksi berarti untuk tragedi kemanusiaan itu. Padahal begitu gencarnya mereka membela pelanggaran-pelanggaran sepele. Mengapa mata kalian masih belum terbuka??? Hei…!!! Bangun!!! Ada pelanggaran Hak Asasi Manusia nyata di Gaza sana!!! Mengapa kalian masih bisu??? Bukankah perlakuan yang diterima manusia-manusia Palestina itu kasus Pelanggaran HAM Berat ??????

Perserikatan Bangsa-Bangsa tidak juga menunjukkan reaksi berarti. Hanya kalimat-kalimat kecaman dan usaha menuju meja perundingan. Tidak sadarkah kalian??? Gorilla Israel itu pembohong kelas kakap. Tidak tahukah kalian??? Penyusup itu pelanggar janji abadi.

Negara-negara Arab bahkan belum bereaksi. Liga Arab lagi-lagi hanya mengecam aksi brutal Israel itu. Ah… tidak pahamkah kalian wahai Liga Arab??? Bocah-bocah tertindas itu tidak membutuhkan kalimat kecaman, wanita-wanita sendu itu tidak menunggu ucapan prihatin, Lansia-lansia itu tidak mengharapkan kata-kata tanda peduli, pemuda-pemuda itu tak menanti barisan huruf belasungkawa dari kalian. Mereka menginginkan campur tangan kalian menghalau Zionis Israel angkat kaki dari tanah mereka. Mereka seakan berteriak marah, “Kembalikan Hak Kami!!! Mengapa kalian hanya diam melihat kami ditindas???”

Maafkan diri ini wahai bocah-bocah Palestina. Karena ketidakmampuan jiwa ini maju bersama kalian menghalau pencuri tolol itu. Namun do’a tak akan pernah berhenti terpatri untukmu dalam sujud panjang pada Ilahi, Allah SWT. Serta sedikit recehan dari kantong kering yang turut menyertainya. Percayalah wahai saudaraku, “Tuhan tahu tapi menunggu” (Tolstoy dalam Novel Edensor, Andrea Hirata)

Makassar, 8 Januari 2009

08.27 WITA

*Anggota Forum Lingkar Pena (FLP) Sulsel

Wednesday, January 07, 2009

Akhir yang indah seorang hamba

Oleh : Ummu S.A.R Badar


Kodong”, itulah kata yang keluar dari mulutku dan beberapa penumpang pete-pete (baca ; Angkot) kampus unhas 02 arah veteran lainnya. Kami masih memandangi ibu dan anak yang turun dari pete-pete dan mulai menyeberangi jalan yang padat dengan kendaraan yang berlalu lalang. Air mataku hampir saja menggenang tapi langsung kuseka dengan tisu ditanganku. Salah satu pemandangan yang menyedihkan diantara Pemandangan yang sangat menyedihkan lainnya di kota besar seperti Makassar.

***


Hari ahad ini adalah untuk kedua kalinya aku bertemu dengan mereka. seorang ibu yang sudah renta dan anaknya yang cacat fisik serta mental. Aku pertama kali bertemu dengan mereka ketika hari pertamaku masuk kampus sebagai seorang mahasiswa pada Ahad lalu. Ditengah terik matahari kota Makassar yang membakar aku menunggu pete-pete 02 arah veteran dengan gelisah sambil melirik jam di HP nokia 6310-ku yang sudah mulai kabur layarnya, HP kesayangan. Pukul 13.06 WITA, 24 menit lagi kuliah perdanaku dimulai, sementara waktu yang kutembuh untuk mencapai kampus kurang lebih 30 menit itupun kalau tidak macet atau sang supir kena penyakitnya, menunggu penumpang. Aku mulai panik ketika jam di HPku kini berganti dari angka 13.06 menjadi 13.15. Sebagai mahasiswa baru tentu saja bayang-bayang dosen killer yang jahat mulai menguasai isi kepalaku.


“aku pasti dihukum,” gumamku “dosen Agama Islam dan kemuhammadiyaan pasti mencapku sebagai mahasiswa tidak disiplin. Ya Allah mengapa ini terjadi pada sejarah kemahasiswaanku,” gerutuku lagi.


Akhirnya setelah hampir setengan jam menunggu, pete-pete yang kuharapkan muncul dari jauh.

“itu dia!!!” seruku girang.

Setelah menyetop dan naik ke pete-pete, aku melap peluh yang bercucuran hingga menghapus bedak diwajahku dengan tisu yang telah hilang wanginya. Belum lama berjalan, supir pete-pete berhenti lagi, tepatnya didepan SDN Bawakaraeng.

“datang lagi penyakit si supir,” rutukku jengkel.

Kuperbaiki letak dudukku karena ada penumpang yang naik, kami harus berdesak-desakan karena memang pete-pete kampus 02 ini agak langka sehingga banyak peminatnya.


Tiba-tiba rasa jengkelku hilang ketika Dari dua penumpang baru yang naik, ada seorang ibu menggendong anaknya yang hampir sama besar dengannya. Jika kutaksir umur anak sang ibu kurang lebih 25-30 tahun. Hal itu dapat kulihat dari wajah sang anak yang memang sudah berwajah dewasa. Namun Kondisi fisiknya sangat memprihatinkan, kedua tangan dan kakinya kecil seperti bayi yang berumur 1 tahun, sementara bentuk kepalanya besar melebihi bentuk kepala manusia normal. Mulutnya terus saja terbuka sehingga air liurnya tak henti-hentinya merembes keluar. Sang ibu lalu membersihkan mulut anaknya dengan sisa kain yang dipakai untuk menggendong buah hatinya tersebut dengan penuh rasa sayang sambil tersenyum kearah kami. Semua perhatian penumpang lama tertuju pada keduanya dengan wajah prihatin.

“bisa geser sedikit kesebelah dek’, saya mau duduk disini,” kata sang ibu padaku sambil menunjuk tempat dudukku yang tepat berada di samping pintu angkot.

“iye,” balasku sambil menggeser posisi dudukku kekanan sehingga sang ibu dan anaknya bisa duduk dengan leluasa.


***


Sepanjang perjalanan kami membisu, dua penumpang yang duduk di pojok yang sejak aku naik tadi terus berkicau dan membuat telingaku panas kini tidak lagi melanjutkan acaranya. Mereka diam dengan ekspresi yang sama denganku sambil sesekali mencuri pandang kearah sang ibu dan anaknya. Aku bahkan sudah lupa pada dosen killer hayalanku yang akan menghadang didepan pintu ruangan kelas pertamaku. Hatiku perih melihat pemandangan disebelahku, aku teringat wanita yang menghadirkanku ke dunia di Tidore sana, umur ibu kira-kira hampir sama dengan ibu disebelahku. Ah, apa yang ibu lakukan sekarang ya???

“kiri depan ya pak !” seru sang ibu membuyarkan lamunanku.

Ternyata sang ibu turun di veteran selatan. Dengan susah payah ia turun dari pete-pete sambil membenahi kain yang dipakai menggendong dan merapikan jilbab lusuh coklat yang warnanya telah pudar. Dengan langkah gontai karena memikul beban yang begitu berat, kulihat wajah sang ibu sedikit meringis namun tak mengurangi cepat langkahnya menyeberangi jalan. Sepanjang sisa perjalan ke kampus, aku terus memikirkan ibu anak tadi. Apakah mereka punya keluarga?? Apa yang mereka lakukan di SD ini? Mengapa hanya hari ahad aku menjumpai mereka? Berbagai pertanyaan bermunculan di kepalaku, membuatku penasaran dengan kehidupan dua sosok yang mengiris hati tadi.

***


“ Astagfirullah !!!” teriakku dan langsung melompat bangun dari tempat tidur “ aku terlambat lagi, 15 menit lagi kuliahku mulai. Dasar sial, inilah akibatnya kalau suka menunda-nunda membuat tugas. Akhirnya besok dikumpul baru malamnya sibuk buat tugas sampai waktu subuh menyapa,” rutukku mengambil perlengkapan mandi dan bergegas turun mandi. Namun belum sampai didepan pintu HPku memekik. Dari teman kelasku, wei maumi masuk dosen, dimanako?.

“ Huh,,, pasti tidak sempat,” ucapku lemas “ daripada nantinya uangku terbuang percuma mendingan aku tidak usah ke kampus hari ini,” ujarku sambil meletakkan kembali perlengkapan mandiku.

Tapi mataku tertuju pada novel Ayat-ayat Cinta karangan Habiburahman El Sirazy yang sudah kubaca lebih dari 10 kali. Aku ingat sepenggal kalimat ketika Fahri, sang tokoh utama mulai merasa malas tallaqi ditengah panas kota mesir. Namun dia cepat sadar bahwa kehadirannya di negeri para nabi ini adalah amanat, dan amanat akan dipertanggungjawabkan kelak. Baik kepada Allah maupun kepada orang tua. Maka kalau tidak ingat bahwa kehadiranku disini telah mengeluarkan biaya yang cukup besar........ Dan akhirnya aku sadar

“aku harus ke kampus,” ucapku bersemangat. 15 menit kemudian aku telah berada didalam pete-pete, 02 andalan.

***

“Saya ikhlas menerima cobaan dari Allah dek’ walaupun orang-orang mengatakan Aril saya anak pembawa sial, tapi dia tetap anak kesayangan saya,” cerita sang ibu ketika hanya tinggal aku dan mereka didalam pete-pete. “ kami tidak punya keluarga, ayah Aril meninggal waktu mencari bidan ketika saya mau melahirkan Aril. Lalu 2 hari kemudian rumah kami digusur paksa dengan alasan tidak mempunyai izin. Jadi orang-orang mulai mencap Aril anak pembawa sial. Setiap ahad di SD bawakaraeng saya bekerja, bersihkan WC dan seluruh bagian sekolah, Aril saya taruh di ayunan dibawah pohon mangga selama saya bekerja. untung dia tidak rewel, kayaknya dia tahu kalau ibunya orang susah,” lanjutnya berurai air mata.


Mataku berkaca-kaca mendengar cerita sang ibu yang sebelumnya memperkenalkan diri bernama ibu Aminah. Aku mendapatkan pelajaran yang berharga dari ibu Aminah tentang keikhlasan seorang hamba menerima cobaan dari Rabb-Nya. Mulai saat itu aku selalu bercerita dengan ibu Aminah setiap kali aku ke kampus pada hari ahad.


***


Sudah lebih dari 3 ahad aku tidak berjumpa dengan mereka. Didepan SDN bawakaraeng pete-pete berhenti. Beberapa penumpang berebutan naik, tapi aku tidak menemukan dua sosok yang pernah kutemui sebelumnya. dimana mereka? Biasanya mereka selalu naik pete-pete ini, tanyaku dalam hati sembari celigukan mencari. Selama perjalanan pikiranku masih diliputi pertanyaan seputar sang ibu dan anaknya. Rasa penasaranku mengenai keadaan mereka akhirnya memaksaku untuk mencari tahu alasan mengapa aku tidak lagi menjumpai mereka selama 3 minggu belakangan ini.


Setelah lama bergulat dengan sisi lain pikiranku akhirnya aku memutuskan untuk berhenti ditempat sang ibu dan anak biasanya turun. Sebelum menyeberang aku mampir sebentar membeli 2 kilo apel pada pedagang kaki lima sebagai buah tangan bagi mereka. Setelah membayar aku lalu menyeberang jalan dan menyusuri lorong yang dilewati sang ibu yang telah kuperhatikan selama ini. Tapi setelah melewati daerah pantauanku, aku bingung kemana arah selanjutnya. Akhirnya kuputuskan bertanya pada preman yang mangkal dipinggiran lorong yang sejak tadi memasang muka perang.

“ tabe daeng, numpang Tanya,” ujarku sedikit ketakutan “ kita tahu rumahnya ibu Aminah ? saya sudah mencarinya dari tadi tapi belum ketemu juga,”. Ujarku sopan.


***

“disinilah rumah mereka,” ujar daeng Tira sang preman sambil menunjuk dua gundukan tanah yang sudah mulai mengering bertuliskan nama ibu Aminah dan Aril di masing-masing nisan.

Aku terpana, air mataku keluar tak tertahankan. Dua kilo apel yang kubeli sebagai buah tangan untuk ibu Aminah dan Aril jatuh dari genggaman.

“mereka meninggal hari jum’at 3 minggu lalu didalam gubuknya karena tak sempat menyelamatkan diri dari kebakaran. Mereka meninggal sambil berpelukan dan tersenyum. Tidak ada bekas terbakar ditubuh mereka. Kata pak polisi keduanya meninggal karena kekurangan oksigen., kodong,,,,, kasihannya ibu Aminah. Beliau sering memberikan saya makanan walaupun hanya sedikit makanannya. kenapa orang baik cepat sekali matinya,,,” lanjut preman Tira dengan wajah sendu.

Ternyata Allah begitu menyayangi mereka sehingga Allah memanggil keduanya ke pangkuan-Nya yang abadi sehingga mereka tidak perlu lagi melawan kerasnya dunia. Aku bersyukur dipertemukan dengan wanita tegar seperti ibu Aminah. Sebuah potret hamba yang ikhlas menerima cobaan Rabb-Nya. Akhirnya ibu Aminah dan Aril dapat lulus dari ujian Allah dan kembali dengan tenang. Sebuah akhir yang indah dan patut dijadikan contoh.


***

Maccini, 01.42 WITA

18 Ramadhan 1429 H.

*Anggota Forum Lingkar Pena Sulsel & HIPMIN Makassar